Welcome to blog Angga Ardinata

Minggu, 13 Maret 2016

Jika Kamu Percaya Pada Cinta, Beginilah Hasilnya



(Nama, tempat dan setting di samarkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Apabila terdapat kesamaan, itu hanya kebetulan belaka)
Kisah ini bermula ketika aku masih kelas 8 SMP. Kisah yang sampai saat ini masih terkenang dalam lubuk hatiku. Masih membekas di relung jiwa. Kisah tentang cinta pertama yang akhirnya membuat luka di dalam dada.
Ketika aku kelas 8 SMP aku dibelikan HP oleh orang tuaku. Ketika saat itulah aku mengenal komunikasi kepada lawan jenis. Katakanlah waktu itu waktu-waktu Puber bagi remaja. Semenjak aku mempunyai HP aku berusaha berkomunikasi kepada teman-teman, baik laki-laki maupun perempuan.  Akhirnya dengan dibelikan HP orang tua aku menjadi semakin rajin untuk belajar di sekolah dan berjanji untuk mendapatkan ranking 10 besar.
Sekolahku tak jauh dari rumah, dengan jalan kakipun bisa aku tempuh, cukup lima menit sampai. SMP Negeri 2 yang dikatakan Negeri kedua di desaku. Karena tepat disampingnya ada SMP Negeri I yang menghadap ke jalan raya. Walaupun demikian, Dua SMP yang berdampingan itu tetap berhubungan baik , baik itu guru-gurunya ataupun murid-muridnya. Sementara, aku kini duduk di kelas 8 SMP Negeri 2, Setiap hari aku selalu berangkat gasik walaupun sebenarnya aku masuk kelas dimulai jam tujuh. Aku merasa dengan demikian aku bisa belajar dahulu di pinggir kantin sekolah bersama Bu endah, sang penjaga kantin. Atau sering juga ketika tidak ada PR, aku malah bermain dengan teman akrabku yang sama selalu berangkat gasik, Asnawi namanya.
“ Nawi, hari ini ada PR gak? Kalau gak ada, yuk kita main kelereng saja! “ ajak aku. Kebetulan murid kelas 8 A  yang baru berangkat hanya aku dan Asnawi.
“ Kayanya gak ada Ngga, soalnya kemarin Ibu Tini gak ngasih PR” jawab Asnawi dengan menambahi Ibu Tini yang juga mengajar kelas 8.
“ Ya sudah, kita bermain kelereng. Nih, aku punya sepuluh butir, nanti kita bagi dua” Tutur aku sambil meyakinkan.
Kita berdua bermain kelereng di halaman tepat di depan kelas satu yang tempatnya di ujung, berdampingan dengan sebelahnya  SMP Negeri. Ditengah asyiknya bermain, terdengar suara obrolan anak-anak perempuan di samping. Ketika aku menengok kearah suara itu, ternyata ada siswi-siswi perempuan sedang asyik ngobrol, sambil tertawa-tawa di kursi panjang depan kelas.
Namun, tampak seorang siswi yang berkerudung putih, dengan memakai seragam biru putihnya seolah-olah berbeda dengan teman lainya yang tidak mengenakan kerudung. Akupun sedikit keheranan melihatnya. Pesona kecantikan san itu membuat aku bertanya-tanya, siapa dia? Mengapa dia memakai kerudung putih, tidak seperti umumnya anak? Tambah dengan merasa kagum akan sikap pendiamnya sambil memegang sebuah buku sedang dibacanya. Sungguh membuat aku ini terpana, seakan melihat putri permaisuri kecil bercanangkan kerudung putih indah dipandang.
Setelah berhari-hari aku menyimpan memori bayangan siswi SMP Negeri itu, akhirnya akupun tahu sedikit tentang dia. hanya sebatas kenal. Maklum aku akui, karena SMP aku masih kecil tentang hal-hal percintaan dan belum pantas. Tapi rasa kagumku padanya akan senantiasa membekas, karena sosoknyalah yang pertama kali mengucurkan teteskan embun kekaguman di hatiku.
Di antara wanita itu ada yang memikat hati dan pikiranku. Kemudian aku pun tertarik, di dalam hatiku muncul perasaan cinta, yang entah bagaimana rasa dan sensasinya. Perasaan suka dan tertarik pada perempuan untuk pertama kali. Perasaan yang sangat indah dan tidak pernah terlupakan.
Semakin hari, semakin lama aku ternyata jatuh cinta sama wanita yang menurutku sangat halus tutur katanya dan santun tingkah lakunya itu. Dia yang selalu menjadi mimpi indah ketika aku tertidur pulas, dia hadir dalam mimpi-mimpi indahku.  Lagu yang mewakili perasaanku saat itu adalah Diam-diam Suka
Kau adalah incaran hatiku. Ku slalu memperhatikanmu. Tak henti menjadi teman berbagi. Semoga kau rasa apa yang ku rasa. Dibalik senyumku ada cinta untukmu. Dibalik matamu ada hati yang menunggu. Aku diam-diam suka kamu. Ku coba mendekat. Ku coba mendekati hatimu. Aku diam-diam suka kamu. Semua kan indah seandainya aku bisa memilikimu. Semua kan indah seandainya aku bisa memilikimu.
Waktu itu aku membayangkan betapa indahnya hidupku seandainya aku bisa memilikimu. Aku pun akhirnya berusaha memperbaiki diriku, karena aku ingat kalau laki-laki baik untuk perempuan baik. Ketika itu aku juga termotivasi oleh guruku, beliau mengatakan:
Jadikan perasaan cinta pada seseorang sebagai cambuk untuk menjadi yang lebih baik, baik dalam ibadah, prestasi akademik dan non-akademik, dan akhlak.
Aku pun berusaha sekuad tenaga untuk belajar siang dan malam untuk menjadi yang terbaik. Aku yang notabene dari kampung. Dan dia sang PK (Putrinya Kyai) terasa tidak realistis bila aku bisa bersanding dengan dirinya, bagaikan punuk merindukan bulan. Tapi aku tidak peduli, aku tetap harus berusaha memperjuangkan cintaku kepadanya.
Nayla namanya, Nayla Ainun Munadhifah. Aku tau dia dari Asnawi, teman terdekatku. Nayla sebetulnya bukan asli anak desa dimana SMP 1 dan SMP 2 berada, dia berasal dari desa sebelah, dia pergi sekolah tiap hari dengan jalan kaki. Selalu berangkat awal dibanding yang lain. Ternyata, dia juga sama duduk di kelas 8. Karenanya, aku sering menjumpai dia menyempatkan belajar di kursi kecil depan kelasnya sebelum bel berbunyi. Karena berbeda sekolah, akupun tidak bisa bermain dekat dengan dia. Apalagi aku sendiri anak yang pemalu dan jarang bermain dengan anak perempuan.
Selama aku masih duduk di bangku SMP, perasaan itu hanya tersimpan di benak, tak pernah terletupkan ucapan tentang kekagumanku pada Nayla kepada siapapun, kecuali Asnawi sendiri. Karena ia satu-satunya teman yang selalu mengertikanku. Sampai ia pun sering memberi tahu kabar tentang Nayla yang belum pernah aku ketahui. Asnawi memberitahuku bahwa Nayla setiap malam selalu mengaji Al Qur’an di pondok kecil dekat rumahnya, dan itu berjalan sampai Nayla sekarang kelas 8 SMP begitu juga aku.
Di awal aku menduduki bangku kelas 8, aku bulatkan tekad untuk ikut mengaji Al Qur’an ditempat Nayla setiap malam mengaji. Walaupun jauh, tapi ini adalah pengorbananku untuk bisa melihat Nayla setiap hari, pagi hari di Sekolah tapi itu jarang karena sekolah yang berbeda, atau malam harinya di pondok walau tidak dalam satu kelas. Yang penting bisa melihat Nayla walau dari jauh.
Aku merasa mondok disana banyak hal baru yang aku jumpai. Pertama, aku harus berangkat setelah shalat maghrib dari rumah dengan mengendarai sepeda, setelah sampai aku dipertemukan dengan asatidz yang galak-galak, Ust. Rouf salah satunya. Setiap kali ada santri yang masih berkeliaran belum masuk ke kelas, Ia siap siaga dengan memegang pentungannya untuk menakut-nakuti. Pada saat-saat itulah, muncul rombongan santriwati yang melenggangkan badan berjalan menuju pondok dari sebelah utara pondok, dengan menenteng tas di bahunya dan kitab-kitab di dekap di dadanya. Tersenyum aku melihatnya, karena dari kerumunan santriwati itu, satu diantaranya ada Nayla. Ya Nayla yang selama ini aku kejar agar bisa selalu memandang wajah sholihahnya, kelembutan sikap kesehariannya dan kealimannya.
Setahun kemudian…
Aku sudah terbiasa dengan kegiatan dan kebiasaan di Pondok itu dan banyak mendapat pelajaran, walau hanya menghabiskan waktu dari habis maghrib sampai habis sekitar jam setengah sembilan malaman. Aku merasa gembira, aku bisa ikut mengaji disini, walau tujuan awalnya yang salah. Mengaji hanya untuk melihat Nayla.
Suatu malam setelah pulang dari pesantren, aku mampir dahulu di pedagang siomay dekat pesantren. Tak ku kira ternyata tepat di sampingku ada Nayla yang juga sedang membeli siomay. Tiba-tiba dia memandangku dengan senyuman manisnya sambil mengucapkan,
“assalamu ‘alaikum…. kamu anak desa sebelah kan?” Tanya Nayla sambil memancarkan aura ketulusannya.
“wa wa wa ‘alaikum salam….” Aku jawab dengan sedikit kaget dan terbata-bata.
“IIIyya,,, neng ” jawaban dari pertanyaannya tadi dengan ucapan neng sebagai tradisi penghormatan kepada gadis perempuan, teman atau yang lebih muda.
“Neng namanya Nayla ya…??? Giliranku bertanya.
Dia tersenyum sambil menjawab,
“ Iya… kok tahu? “, Ujar Nayla dengan suara lirih dan pancaran senyum dari raut wajahnya.
“ hhhmm… ya cuma tau aja”, jawab aku.
“ eh iyya… saya pulang duluan ya, sudah di tunggu bapak dan ibu di rumah”.
Nayla pun pergi, dan aku perhatikan dia dengan perasaan sangat-sangat bahagia. Seketika aku pandangi ia berjalan. setelah agak jauh, aku terkejut, ternyata Nayla masuk ke rumah Ust. Rouf. Deg.. rasa bahagiaku pun bercampur dengan rasa khawatir dan takut, ternyata aku baru tahu, Nayla Ainun Munadhifah itu Putri dari Ust. Rouf yang terkenal super galak dan sangar di pondok.  Hhhmm,,,Siap aku harus menghadapi singa padang pasir itu untuk bisa bertahan sampai suatu saat aku bisa mendapatkan anaknya.
Satu tahun itu merupakan tahun pertama aku mengaji di Pondok secara kalong, bertepatan juga dengan masuknya aku di kelas 9 SMP. Aku menikmati jalannya mengaji dan semua suasana di pondok.
Setiap malam aku berangkat mengaji, entah kenapa aku tidak pernah lagi melihat pancaran wajah indah Nayla. Perasaanku tidak enak dan gelisah. Akupun tanya seorang temannya yang dulu selalu bersama Nayla di Pondok. Kaget sungguh kepalang. Sedih hati ini rasanya. Belumlah aku bisa akrab dengannya tapi dia sudah pergi dahulu. Pergi menjauh dariku. Bapaknyalah yang membuatnya pergi, Ust. Rouf. Dia disuruh untuk melanjutkan ilmu pesantrennya di Bandung, dan melanjutkan kelas 9 SMP di Bandung. Dengan keta’dzimannya terhadap bapaknya, diapun mengikuti apa kata bapaknya.
Setahun aku jauh dari Nayla. Tapi aku tetap berusaha untuk tegar. Seperti biasa aku berangkat pesantren, sepintas aku sering memandangi rumahnya, namun tak juga Nayla ada. Semenjak Nayla pergi ke Bandung, Tak pernah aku jumpai dia walau satu kalipun. Aku hanya bisa berharap, suatu saat jika Allah mentaqdirkan aku bertemu Nayla, aku yakin pasti akan bertemu kembali. Karena aku percaya taqdir Allah seperti yang diajarkan Ustadz Basyar dalam pengajian tauhid di pondok.
Sampai akhirnya akupun selesai Ujian Akhir Nasional, kelas 3 SMP sebentar lagi berakhir. Tinggal aku siapkan rencana berikutnya. Beberapa hari setelah UAN, Malam harinnya akupun berangkat pesantren dengan menggunakan sepeda BMXku ditemani beberapa teman. Malam pertama setelah satu minggu libur untuk persiapan UAN. Malam itu, aku bertemu dan bersalaman dengan Ust. Rouf yang sedang duduk di kursi depan Kantor Pondok. Di kelas, aku bertemu Ust. Basyar yang biasa mengajariku setiap malam, Dialah wali kelasku.

Setelah bubar dari pengajian, rasanya aku ingin membeli somay kesukaanku. Akupun mendatangi pedagang somay tak jauh dari pondok sebelum aku mengambil sepeda ditempat penitipan. Terkejut aku ketika mendengar suara perempuan dari samping kuping kananku.
“ Mang, masih ada somaynya? Nayla mau beli lima bungkus....”
“masih ada neng,,, ya mang buatin buat tong Angga dulu ya neng….”
Ya Allah,,, akupun terkejut ketika menengok ke arah kanan, begitu juga Nayla menengok ke arah kiri ketika ia mendengar nama Angga dari mulut mang somay.
“Assalamu ‘alaikum Neng Nayla…? Bagaimana kabarnya? Alhamdulillah bisa bertemu kembali ya neng….” Tanya aku dengan perasaan berbinar-binar dan mata berkaca-kaca ketika memandang Nayla setelah bertahun-tahun tak bertemu, ia tumbuh sungguh lebih cantik dan sangat indah dari dahulu SMP.
“Wa’alaikum salam…. Alhamdulillah baik kang Angga….” Jawab Nayla sambil tersenyum manis.
Akupun balas senyumannya, apalagi setelah ia jawab dengan kata “kang Angga”, Panggilan Khas dari Bandung. Dengan berusaha percaya diri, akupun coba keluarkan pertanyaan,
“Neng Nayla lagi liburan ya?...kemarin ketika UAN bagaimana? Lancar?...” lidahku mulai bebicara.
“Iya kang,,, kemarin Nayla UAN di Bandung Alhamdulillah lancar…” Naylapun menjawab lirih.
“Kalau boleh tahu… rencana Nayla setelah lulus mau melanjutkan kemana?...”
“hehhhmmm,,, kata bapak sih Nayla suruh melanjutkan pesantren lagi ke Jawa Tengah, ya Nayla ikut apa kata bapak saja”... jawaban simpel Nayla sambil mengambil bungkusan siomay yang sudah jadi sekaligus memberikan uangnya ke mang somay.
“eehhh,,, kang Angga Nayla pulang duluan ya, tidak enak sama bapak dan ibu kalau siomaynya keburu dingin”, sambung Nayla sambil pamit mengucapkan salam,
“ Assalamu ‘alaikum… kang”
“ iya neng…wa ‘alaikum salam” aku jawab dengan senyum tersampul rasa kegembiraan.
Perjalanan pulangkupun diliputi taburan rasa bahagia, sampai aku tersenyum-senyum sendiri. layaknya perasaan orang yang sudah lama ditinggal perempuan yang ia cintai, kemudian ia datang bagaikan bidadari turun dari kayangan berkerudungkan sutra putih, kulit yang putih halus bagai susu, senyuman manis lebih manis dari gula serasa, tutur bicaranya seolah butiran-butiran mutiara pelan berjatuhan, sungguh suara jawaban-jawaban dari lisannya seperti tetesan embun pagi menyejukan hati dan jiwa. Tak terbayang begitu bahagianya aku, sampai larut malampun aku tetap membayangkannya. Aku pandangi dia dari tembok kamarku seperti tayangan dalam surga. Terus dan terus bayangannya menari-nari depan kedua bola mataku. Sampai tak terasa akupun tertidur dan jatuh dalam larutan mimpi indah bersamanya.
“ Kang Angga…. Kang…. “ Nayla membangunkanku dalam dunia tidurku.
“ aduwh… Nayla, kok bisa ada disini???”
“ Iya Kang, Nayla datang buat Kang Angga…” ujar Nayla dengan menyimpulkan senyum manisnya.
“ Hah… Masa? Nayla datang jauh-jauh buat akang” tanyaku dengan penasaran.
“ Iya, Kang… Nayla disuruh bapak untuk bertemu akang, dia ridho seandainya suatu saat Nayla jadi pendamping hidup akang…” ucapan Nayla seolah tetesan embun pagi, akupun disejukan olehnya.
“ Ya Allah, apa ini benar… sungguh aku bersyukur padamu Ya Allah…”
“ kalau begitu akang siap… akang akan berusaha menjadi Imam yang terbaik dalam Hidupmu Nayla,,, kelak dalam rumah tangga kita”
Dug..dug…dug…(suara dari pintu kamarku) Ngga… Ngga… Baanguunn… siap-siap ambil air wudhu, sholat sama ibu,,, kamu jadi Imam ya Ngga…..
Akupun terperajat, sambil mengusapkan muka dengan kedua tanganku. Wuuuhhhh… ternyata cuma mimpi. Akupun tersenyum sendiri sambil tetap mengingat-ingat bayangan Nayla.
“ Iya Bu… tunggu sebentar…” saut aku dari dalam kamar, dengan berharap ,“Ya Allah semoga apa yang aku tadi impikan bisa menjadi kenyataan”. Lalu akupun bersiap-siap untuk melakukan shalat shubuh. Salama satu minggu ini memang aku selalu jadi Imam shalat bersama Ibuku, karena bapakku dan kakak laki-lakiku sedang melakukan kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga. Merantau ke seberang pulau.
Ibuku sudah siap di mushola. Setelah akupun siap, Aku berkata kepada ibu,
“ Mari Bu, kita shalat berjama’ah, lebih cepat lebih afdhol agar mendapat waktu fadhilahnya shalat”
“ ayu nak, baca qur’annya yang tartil dan merdu ya, biar ibu shalatnya bisa lebih khusyuk” tambahi ibu. Begitulah ibu, karena beliau selalu senang ketika dibacakan al qur’an dengan gaya suara merdu seperti di kaset-kaset.
Setelah aku dan ibu menjalankan shalat shubuh berjama’ah dengan khidmat, seperti biasa aku dan ibu saling deres al qur’an. Ketika ibu baca aku mendengarkan dan membetulkan bacaan ketika ada yang salah. Begitu juga ibu mendengarkan ketika aku membaca. Ibu sendiri karena sudah usia lanjut, beliau membaca harus dengan kaca matanya. Berbeda dengan aku. Karenanya, ibu terkadang ada bacaan yang salah lihat, akupun langsung membetulkannya.
Setelah selesai deres al qur’an bersama, aku sedikit buka bicara. Menanyakan akan mimpiku tadi.
“Bu… kalau mimpi itu benar bisa jadi kenyataan nggak sih”, aku mulai bertanya dengan gaya bahasa akrabku kepada ibu.
“Man… mimpi itu tidak semua jadi kenyataan, yang jelas mimpi itu hanya bunga tidur, kalau mimpi baik dan benar berarti datang sebagai anugrah dari Allah SWT. Kalau mimpi buruk itu berarti datang dari Syaitan. Angga sendiri sebelum tidur baca do'a dulu tidak? “ jawab ibu dengan penjelasannya.
“Angga baca do’a Bu… masa sudah lama ngaji di pondok lupa baca do’a sebelum tidur”, ujarku.
“ ya memangnya Angga mimpi apa?” tanya ibu kembali.
“hhmm… gimana ya? Sebetulnya ini ada hubungannya dengan perasaan Angga Bu”, jawabanku simpel.
Akhirnya aku ceritakan semua tentang perasaanku kepada Ibu, dari mulai aku SMP kelas 2, kemudian tau dengan yang namanya Nayla, lalu akupun ikut mengaji kalongdi pondok hanya agar bisa melihat Nayla. Aku juga ceritakan karakteristik Nayla, segalanya. Sampai pada mimpiku tadi malam.
Kemudian Ibu menyimpulkan.
“Ya Sudah… Ibu sih mendukung saja, tapi Anggakan masih kelas 3 SMP, baru saja UAN, pengumuman kelulusan juga belum. Masih lama Man mikirin yang kaya gituan. Nah… Alangkah baiknya, Angga sekarang jadikan perasaan itu sebagi motivator yang mendorong Angga untuk terus jadi yang terbaik, baik buat keluarga, agama, bangsa, dan Nayla juga senang kalau seandainya tahu Angga seperti itu. Sekarang yang Angga pikirkan, ingin kemana melanjutkan sekolah SMP?”, ibuku memberikan pencerahan diakhiri dengan pertanyaan. Akupun seketika mengiyakan ibu. Dan terpintas kemana aku akan melanjutkan sekolah.
“hhhmm… iya ya bu…” Sambil aku memanggut kepala dan berpikir, teringat bayangan Nayla ketika bertemu kemarin malam.
“ Bu, bagaimana kalau Angga ingin mondok ke Jawa Tengah? Angga ingin memperdalam ilmu agama sambil sekolah disana?”, Inisiatif ini, aku terinspirasi dari Nayla karena dia juga akan melanjutkan ke Jawa Tengah. Walaupun sebenarnya aku tidak tahu apa dan dimana pondok pesantren di Jawa Tengah itu.
******
Santri, Asatidz, dan Kyai, nama-nama itu sudah terbiasa terdengar di telingaku. Kehidupan yang awam kini berubah dengan nuansa islami. Statusku yang dulu dirumah berubah menjadi istilah "santri". Keseharian yang dulupun berubah dengan banyak kegiatan mengaji kepada kyai dan asatidz. Suara adzanpun tak lepas dari kupingku berkumandang setiap lima waktu. Tanda akupun harus mendatangi masjid, untuk shalat berjama’ah sebagai kewajiban santri pesantren. Pesantren yang terletak di Jawa Tengah itu bernuansakan kesejukan. Lokasi yang dekat dengan Gunung Slamet membawa kedinginan setiap malam sampai shubuh tiba.
Waktu dua puluh empat jam tiap harinya dihabiskan dengan kegiatan dilingkup pesantren. Sekolah keagamaan yang masyhur dengan MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) mengisi acara pagi sampai soreku, ditambah pengajian tambahan dari setelah asyar hingga larut malam. Ku rasakan semuanya begitu jauh berbeda dengan apa yang pernah ku jalani sebelumnya ketika di rumah. Namun, semua itu berjalan dengan senyuman. Karena di pesantren itulah, aku dipertemukan dengan sosok penyejuk hatiku, Nayla Ainun Munadhifah. Akhirnya, aku bisa bersama Nayla dalam satu pondok pesantren. Sungguh kebahagiaan tersendiri bagiku. Hanya saja, kami tidak bisa bertemu dan bertatap muka layaknya pergaulan bebas di rumah, kami terikat oleh pesantren, penjara suci yang dikelilingi pagar yang berduri peraturan. Siapa orangnya berani menerobos pagar duri itu, dia akan terkena akibatnya. Duri itu akan melukai dirinya tanpa pandang bulu siapa orangnya. Tata tertib pesantren membuatku hanya bisa menyaksikan Nayla dari arah yang berjauhan, karena dilarang bagi kaum ajnabi berdekatan dengan bukan mahromnya.
Beberapa tahun lamanya di pesantren, semua benak perasaanku aku tanam dalam hatiku, tak berani aku berbuat yang bisa berakibat fatal bagi masa depanku. Sekali berbuat kesalahan ta'ziranpun akan datang menghantam. Entah dalam bentuk apa, aku tak mau terkena ta'ziran sekecil apapun. Aku hanya ingat pesan ibuku, “ jadikan perasaan cinta kepada seseorang itu sebagi motivator yang mendorong untuk terus jadi yang terbaik”. Dari situlah, aku bertekad, walaupun perasaanku kepada Nayla ini tersimpan dalam bathinku, aku akan buktikan, aku harus jadi yang terbaik. Setidaknya dengan demikian Nayla akan merasa kagum padaku. Dengan modal kemampuan pas-pasan, hanya lulusan SMP, akupun bejuang mati-matian agar dapatkan apa yang aku inginkan. Porsi belajarku aku tambahkan full sampai larut malam. Setiap setelah pelajaran aku rutinkan muroja’ah. Materi agama dan umum aku kuasai semua. Bahasa Arab dan Bahasa Inggris aku pelajari dan selalu aku praktekan. Semua jerih payah aku kerahkan, dengan niat aku ingin bisa jadi yang terbaik, orang tuaku kan senang. Dan yang utama Naylapun akan mengetahui siapa aku.
*****
Setelah lima semester kulalui, namaku selalu terpampang di barisan rangking kesatu, kedua atau ketiga. Karena sulitnya pesaingan di kelas, aku tidak bisa konsisten di peringkat kesatu, tapi aku bersyukur karena rangking satuku tetap mendominasi. Setiap akhir semester pengumuman peringkat kelas selalu diumumkan dan dipampangkan. Akupun yakin Nayla pasti melihat hasil dari jerih payahku.
Suatu pagi, bertepatan dengan setelah pengumuman semester pertama kelas 3, ketika berangkat sekolah, aku tak sengaja bertemu papasan dengan Nayla di tangga lantai dua sebelum masuk ke kelas. Tak ku sangka, Nayla tersenyum sambil mengucapkan beberapa patah kata,
“Selamat ya Kang Angga, atas prestasi yang diraih selama di MAK….!!!” Suara itu layaknya butiran-butiran mutiara berjatuhan dari lisan Nayla membuatku terlena kepayang.
Dengan senyum pula akupun menjawab,
”terima kasih neng, mungkin itu juga berkat do’a dan dukungan neng dari belakang, ”…. aku balas dengan sedikit kata-kata so-PD, yang aku yakin itu ada benarnya.
“Nayla ke kelas duluan kang… tidak enak kalau kelihatan orang lain”, ujar Nayla dengan mata malu.
“ Iya Neng, sekali lagi makasih”, saut aku membalas sebelum Nayla pergi.
“ Iya Kang”… Ia pergi dengan agak dicepat-cepatkan jalanya sambil tersenyum-senyum.
Akupun bergoyang-goyang bahagia, apa yang aku upayakan ternyata terbukti Naylapun menaruh rasa kagum padaku, aku terlena dengan keceriaan pagi hari itu.
Setelah semester satu kelas 3 berakhir, tinggal tancap gas terakhir untuk menuntaskan jenjang sekolah di MAK. Ujian Nasional SLTA diambang mata sekitar tiga bulan kedepan. Aku tidak bisa tinggal diam. Tidak bisa aku terlena dengan hasil baik prestasiku sebelumnya. Semua harus aku selesaikan dengan baik, dan di akhir akupun harus bisa khusnul khotimah, baik di sekolah atau juga di pesantren. Apalagi aku merasa iri kepada kakak kelas yang dahulu telah lulus, lalu bisa melanjutkan ke Universitas Negeri di Jawa Timur sambil mondok. Dari situ, aku juga berharap mudah-mudahan UAN nanti bisa berhasil dan bisa mengantarkanku ke Universitas di Jawa Timur. Walau belum terbayang dari dahulu untuk kuliah di Jawa Timur, tapi setelah aku mendapat banyak pelajaran dan kajian agama, aku mulai mengerti.
******
Beberapa bulan kemudian,
Aku dinyatakan lulus UAN dengan predikat Amat Baik. Disamping itu pula, aku mendapat pengumuman kelulusan beasiswa Jawa Timur. Sesuai dengan target, apa yang aku rencanakan berhasil. Kedua pengumuman itu aku terima dengan rasa bahagia, bangga dan puas. Karena jerih payahku selama di pesantren terbalaskan dengan prestasi baik. Kedua orang tuakupun takjub. Tidak percaya aku bisa seperti itu, padahal aku lulusan SMP, tapi bisa bersaing dengan teman-teman lain yang latar belakang keagamaannya lebih baik. Aku tersenyum saja,,, karena dibalik itu semua, aku termotivasi oleh sosok Nayla yang senantiasa menjadi penyemangat hidupku, gelora wajahnya selalu terpancar dalam bayanganku layaknya tetesan embun yang membasahi dedaunan di setiap pagi. Akulah si dedaunan yang beruntung itu, karena setiap aku ingat kepadanya, aku bangkit untuk berusaha menjadi yang terbaik walaupun banyak yang lebih baik dariku. Setidaknya, aku bisa dilihat baik di mata Nayla. Entah tetesan embun cinta apa yang telah merasuki tubuh ini, sehingga aku selalu merasa sejuk ketika ia hadir dalam bayanganku.
*****
Suatu ketika dimana aku di hadapkan dengan masa depanku. Aku merasa kebahagiaan ini terkikis oleh masa. Aku terpikir sejenak, akhirnya aku sadar. Aku telah salah dalam melangkah. Semua yang aku lakukan untuk agama aku lakukan dengan niatan yang salah. Bermula dari aku pesantren kalong di kampung hingga kini aku berhasil mencapai yang aku citakan. Semuanya karena Nayla, seorang perempuan biasa, yang hanya diberi kelebihan oleh Allah SWT hingga bisa menghipnotis hatiku sehingga terpedaya. Aku berjuang pesantren malam hanya untuk melihat Nayla. Aku tekadkan pesantren di Jawa Tengah hanya untuk bisa hidup lebih dekat dengan Nayla. Aku berusaha meraih prestasi terbaik hanya agar mendapat perhatian Nayla. Semua itu salah… aku tidak niatkan semua itu untuk kebaikan semata-mata karena Allah. Tapi malah karena seorang perempuan. Karena itulah aku merasa rasa bahagiaku tidak seperti hakikat kebahagiaan.
Dalam shalat istikharahku, Aku merasa bersalah Allah SWT, menggantikan kedudukan-Nya dalam niat baikku. Setelah aku bertafakkur, rasanya hati ini menuntunku tuk coba melupakan Nayla, aku tidak ingin selamanya berada dalam jalan yang salah. Karena semata-mata untuk Nayla. Walau aku yakini bahwa memang melalui Nayla lah Allah memberiku jalan kebaikan. Berkat tetesan embun cinta Nayla membuatku terangkat untuk mengikuti jalan baiknya.
Sebelum aku meninggalkan kampungku, aku bulatkan membuka lembaran hidup baru kehidupan baru, dengan tidak menggantungkan diri pada Nayla, tapi hanya pada Allah SWT semata. Dan aku yakin, kalau seandainya memang Nayla adalah jodohku, Allah SWT tak kan menjauhkannya dariku, aku pasti dipertemukan kembali. Keikhlasanku terpancar karena aku yakini Taqdir Allah SWT yang senantiasa bersama orang-orang yang sabar. Memasrahkan segala urusannya kepada-Nya. Dan hakikat cinta sebenarnya hanyalah kepada Allah SWT.
Ketika itu aku mulai menyadari bahwa perasaan cintaku yang mendalam pada Nayla harus disikapi dengan bijak. Aku tidak mau terbawa perasaan labil seperti remaja sekarang.
Nayla sudah nampak memperlihatkan ketertarikan padaku, apalagi ust Rouf yang telah mengenal dan mendidikku sebagai santri yang taat dan berprestasi.
Meskipun demikian aku merasa belum mampu untuk menikah dengan Nayla walaupun aku memiliki perasaan cinta yang begitu besar dengan Nayla. Menikah tidak cukup modal dengan cinta dan dengkul.
Nayla dan aku akhirnya menjauh dengan perlahan demi perlahan. Dia kemudian karena di dorong terus menerus oleh orang tuanya menikah karena umurnya sudah sepantasnya untuk menikah sehingga tidak terjerumus pada perbuatan-perbuatan maksiat dengan alasan pacaran syar’I dengan embel-embel Ta’aruf.
Akhirnya Nayla pun dinikahkan dengan orang yang lebih siap daripada aku. Entah apa yang aku rasakan setelah liburan semesteran kuliah aku mendapat undangan dari pernikahan Nayla yang membuatku tidak bisa melupakannya dulu karena aku belum mendapat ridho dari Ibuku. Memang benar ridho Allah terdapat di ridho orang tua.
Aku pun ketika mendapatkan undangan pernikahan dari Nayla, aku mengatakan kalau aku tidak akan berangkat karena aku sudah memasuki masa perkuliahan. Sehingga dia merasa sedih karena aku yang pernah menjadi bagian dari kenangan dan memori indah tidak bisa hadir di acara terpenting dalam hidupnya.
Setelah beberapa saat aku merenung, memikirkan perasaan Nayla dan keluarganya. Aku pun memutuskan untuk kembali ke kampung halaman dan izin dari masa perkuliahan selama beberapa hari.
Hari yang dinantikan telah tiba, ya hari pernikahan Nayla. Aku pun sudah memutuskan untuk datang ke pernikahan Nayla, namun aku tidak sendiri. Aku mengajak teman wanita untuk mendampingiku, alasanku mengajak teman karena beberapa pertimbangan. Menjaga perasaan orang tua Nayla, kalau Angga datang bisa mengacaukan acara Nayla. Kalau Angga masih sendiri aku merasa bersalah kenapa tidak menikahkan Nayla pada Angga yang telah lama akrab dan baik dengan keluarga. Dan kalau Angga datang sendiri gimana perasaan Nayla dan suaminya.
Tetapi Angga sudah memutuskan untuk mengajak teman wanita untuk mendampingi ke pernikahan Nayla. Singkat cerita Angga yang dulu pernah dekat dan akrab dengan keluarga Nayla pun bertemu dengan ibu Nayla.
“ehh nak Angga, datang kesini sama siapa?”
“njeh bu, niki kulo kaleh niki (sambil menunjuk teman wanitanya)” jawab Angga tidak mau bohong kalau mengatakan teman wanitanya adalah pacarnya.
Kemudian setelah itu beberapa saat kemudian teman wanitanya mulai jenuh sehingga mengajak Angga untuk segera pulang. Akan tetapi Nayla yang berdiri di panggung mengetahui kalau Angga dan pasangannya mau pulang. Kemudian Nayla meminta ibunya untuk menahan Angga pulang setelah foto bersama dengan penggantin.
Setelah foto keluarga mempelai laki-laki dan perempuan selesai. Tibalah saat untuk Angga dan pasangannya foto bersama dengan penggantin. Angga berdiri di samping suami Nayla. Dan pasangan Angga berdiri di samping Nayla. Setelah foto bersama Angga bersalaman kepada suami Nayla dan mendoakan barokah penggantin. Kemudian Angga bertatap muka dengan Nayla, seseorang yang pernah sangat spesial di hatinya. Angga mengucapkan selamat kepada Nayla dengan suara terbata-bata. Dia tak kuasa menahan gejolak di dalam dadanya yang mengatakan dia masih mencintai Nayla. Tak di sangka Nayla pun dahulu juga memendam perasaan cinta kepada Angga. Karena Angga dahulu belum mempunyai kesiapan untuk melanjutkan ke jenjang hubungan yang lebih serius, sedangkan umur Nayla sudah pantas untuk menikah. Akhirnya Nayla pun mendapatkan seorang suami yang siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga dengannya.
Angga kemudian berusaha menyembunyikan perasaannya dengan senyum menipu dan tertawa renyah dalam bercanda kepada penggantin. Ya memang Angga pandai menyembunyikan perasaanya, sehingga menurut penilaian orang dia bahagia, tetapi hanya dirinya sendiri yang mengetahui kalau dirinya menderita.
Angga berhasil menipu semua orang kalau dirinya tidak menderita dengan pernikahan Nayla yang merupakan cinta pertamanya. Semua orang mengira dia ikut bahagia atas pernikahan Nayla. Sampai teman wanitanya bertanya.
“mas aku heran, kamu kok tadi di perkawinan, malah ketawa-ketawa dan senyum-senyum. Tidak kelihatan kesedihan kamu, padahal mantan terindah kamu menikah dengan laki-laki lain.”
“kamu heran kenapa aku tidak sedih, malah bisa tertawa dan tersenyum. Karena apa yang ada di balik senyumku, aku bisa menyembunyikan perasaan kecewaanku.” Jawabku penuh arti.
Setelah mereka menikah aku pun masih terkadang berkomunikasi dengan Nayla. Kami masih menjalin tali silaturrahim dengan baik. Kami tidak pernah bermusuhan meski sudah tidak menjadi sepasang kekasih.
Beberapa tahun kemudian aku mendapat kabar, kalau ternyata Nayla sedang mengandung anak pertamanya. Betapa bahagianya Nayla dan suaminya sebentar lagi mereka akan kedatangan sang buah hati. Aku pun ikut bahagia dengan kehamilan Nayla.
Tanpa di sangka-sangka beberapa bulan kemudian Nayla menjadi sangat frustasi dan depresi setelah keguguran di usia kehamilan tua. Dia gagal mendapatkan buah hati dari pernikahannya.
Aku pun sampai sekarang masih mengingat berbagai kenangan indah dengan Nayla. Dia banyak mengajarkan aku banyak hal. Ketika aku baru mengenalnya, aku menjadi sangat termotivasi menjadi yang terbaik karena dia, aku mendapatkan pelajaran berharga seusai mendatangi pernikahan dari Nayla.
Pelajaran itu yang akan selalu aku kenang dalam hidupku.
Ada sesuatu yang tidak ingin kita tinggalkan, tapi harus kita tinggalkan. Ada orang yang tidak ingin kita tinggalkan, tapi harus kita tinggalkan. Meninggalkan bukan akhir kehidupan. Melainkan awal dari sebuah kebahagiaan. Jika kamu percaya pada cinta. Cinta yang akan datang padamu, bukan  kamu yang mendatanginya.
Terkadang kita perlu untuk mnengok masa lalu, bukan untuk meratapinya tapi untuk mengenang, belajar & intropeksi diri sudahkah kita lebih baik? Akankah kita jatuh di lubang yg sama! Pengalamanlah yang mendewasakan kita, ia adalah guru yang terbaik bagi kita.