Follow up brigsus ke-7: PASKOBRA.
Cinta itu seperti paskobra, melintang kanan kiri ok, melangkah perlahan ok, bahkan saling menghormati it's ok.
#oopsJuStKidding
#justSOSO
#NOsneaky
Lihat aksinya di foto berikut CAPCUS
Minggu, 10 April 2016
Kamis, 07 April 2016
Apinaga Nagune…
Api
naga nagone….mamakureka… mamakureka….mamakureka…a…..
Api
naga nagone….mamakureka…
Kukue…kukue…kukue….
Disini
tiada susah..di dalam berpramuka…di dalam berpramuka…di dalam berpramuka…
Disini
tiada susah didalam berpramu…
Ku
senang kusenang kusenang…….
Kek
kakek kakiku kaku…
Kuku kakiku kaku kau….2x
Lagu Pramuka PANDANG
1.
Pandang
Aku
pandang punya kamu….
Kamu
pandang punya aku…
Sama-sama
pandang mata…
Aku
pegang punya kamu,,,
Kamu
pegang punya aku…
Sama-sama
pegang tangan..
Aku
cium punya kamu….
Kamu
cium punya aku…
Sama-sama
cium tangan….
Asalkan jangan sampai…jatuh hati…
Rabu, 06 April 2016
lagu pramuka HOLONG MA HOLONG
1.
HOLONG MA HOLONG
Holong
ma holong ma
Tipatile
tile…..
Holong
ma holong ma
Tipatile
tile…..
Sendo
sendo…yara sendo sendo
Yara
sendo sendo yara sendo sendo..
Hai……
lagu pramuka HOLONG MA HOLONG
1.
HOLONG MA HOLONG
Holong
ma holong ma
Tipatile
tile…..
Holong
ma holong ma
Tipatile
tile…..
Sendo
sendo…yara sendo sendo
Yara
sendo sendo yara sendo sendo..
Hai……
Minggu, 13 Maret 2016
Jika Kamu Percaya Pada Cinta, Beginilah Hasilnya
(Nama,
tempat dan setting di samarkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Apabila terdapat kesamaan, itu hanya kebetulan belaka)
Kisah
ini bermula ketika aku masih kelas 8 SMP. Kisah yang sampai saat ini masih
terkenang dalam lubuk hatiku. Masih membekas di relung jiwa. Kisah tentang
cinta pertama yang akhirnya membuat luka di dalam dada.
Ketika
aku kelas 8 SMP aku dibelikan HP oleh orang tuaku. Ketika saat itulah aku
mengenal komunikasi kepada lawan jenis. Katakanlah waktu itu waktu-waktu Puber
bagi remaja. Semenjak aku mempunyai HP aku berusaha berkomunikasi kepada
teman-teman, baik laki-laki maupun perempuan. Akhirnya dengan dibelikan HP orang tua aku
menjadi semakin rajin untuk belajar di sekolah dan berjanji untuk mendapatkan
ranking 10 besar.
Sekolahku
tak jauh dari rumah, dengan jalan kakipun bisa aku tempuh, cukup lima menit
sampai. SMP Negeri 2 yang dikatakan Negeri kedua di desaku. Karena tepat
disampingnya ada SMP Negeri I yang menghadap ke jalan raya. Walaupun demikian,
Dua SMP yang berdampingan itu tetap berhubungan baik , baik itu guru-gurunya
ataupun murid-muridnya. Sementara, aku kini duduk di kelas 8 SMP Negeri 2,
Setiap hari aku selalu berangkat gasik walaupun sebenarnya aku masuk kelas
dimulai jam tujuh. Aku merasa dengan demikian aku bisa belajar dahulu di
pinggir kantin sekolah bersama Bu endah, sang penjaga kantin. Atau sering juga
ketika tidak ada PR, aku malah bermain dengan teman akrabku yang sama selalu
berangkat gasik, Asnawi namanya.
“
Nawi, hari ini ada PR gak? Kalau gak ada, yuk kita main kelereng saja! “ ajak
aku. Kebetulan murid kelas 8 A yang baru
berangkat hanya aku dan Asnawi.
“
Kayanya gak ada Ngga, soalnya kemarin Ibu Tini gak ngasih PR” jawab Asnawi
dengan menambahi Ibu Tini yang juga mengajar kelas 8.
“
Ya sudah, kita bermain kelereng. Nih, aku punya sepuluh butir, nanti kita bagi
dua” Tutur aku sambil meyakinkan.
Kita
berdua bermain kelereng di halaman tepat di depan kelas satu yang tempatnya di
ujung, berdampingan dengan sebelahnya SMP Negeri. Ditengah asyiknya bermain,
terdengar suara obrolan anak-anak perempuan di samping. Ketika aku menengok
kearah suara itu, ternyata ada siswi-siswi perempuan sedang asyik ngobrol,
sambil tertawa-tawa di kursi panjang depan kelas.
Namun,
tampak seorang siswi yang berkerudung putih, dengan memakai seragam biru
putihnya seolah-olah berbeda dengan teman lainya yang tidak mengenakan
kerudung. Akupun sedikit keheranan melihatnya. Pesona kecantikan san itu
membuat aku bertanya-tanya, siapa dia? Mengapa dia memakai kerudung putih,
tidak seperti umumnya anak? Tambah dengan merasa kagum akan sikap pendiamnya
sambil memegang sebuah buku sedang dibacanya. Sungguh membuat aku ini terpana,
seakan melihat putri permaisuri kecil bercanangkan kerudung putih indah
dipandang.
Setelah
berhari-hari aku menyimpan memori bayangan siswi SMP Negeri itu, akhirnya
akupun tahu sedikit tentang dia. hanya sebatas kenal. Maklum aku akui, karena SMP
aku masih kecil tentang hal-hal percintaan dan belum pantas. Tapi rasa kagumku
padanya akan senantiasa membekas, karena sosoknyalah yang pertama kali
mengucurkan teteskan embun kekaguman di hatiku.
Di
antara wanita itu ada yang memikat hati dan pikiranku. Kemudian aku pun
tertarik, di dalam hatiku muncul perasaan cinta, yang entah bagaimana rasa dan
sensasinya. Perasaan suka dan tertarik pada perempuan untuk pertama kali.
Perasaan yang sangat indah dan tidak pernah terlupakan.
Semakin
hari, semakin lama aku ternyata jatuh cinta sama wanita yang menurutku sangat
halus tutur katanya dan santun tingkah lakunya itu. Dia yang selalu menjadi
mimpi indah ketika aku tertidur pulas, dia hadir dalam mimpi-mimpi indahku. Lagu yang mewakili perasaanku saat itu adalah
Diam-diam Suka
Kau
adalah incaran hatiku. Ku slalu memperhatikanmu. Tak henti menjadi teman
berbagi. Semoga kau rasa apa yang ku rasa. Dibalik senyumku ada cinta untukmu. Dibalik
matamu ada hati yang menunggu. Aku diam-diam suka kamu. Ku coba mendekat. Ku
coba mendekati hatimu. Aku diam-diam suka kamu. Semua kan indah seandainya aku
bisa memilikimu. Semua kan indah seandainya aku bisa memilikimu.
Waktu
itu aku membayangkan betapa indahnya hidupku seandainya aku bisa memilikimu.
Aku pun akhirnya berusaha memperbaiki diriku, karena aku ingat kalau laki-laki
baik untuk perempuan baik. Ketika itu aku juga termotivasi oleh guruku, beliau
mengatakan:
Jadikan perasaan cinta pada
seseorang sebagai cambuk untuk menjadi yang lebih baik, baik dalam ibadah,
prestasi akademik dan non-akademik, dan akhlak.
Aku
pun berusaha sekuad tenaga untuk belajar siang dan malam untuk menjadi yang
terbaik. Aku yang notabene dari kampung. Dan dia sang PK (Putrinya Kyai) terasa
tidak realistis bila aku bisa bersanding dengan dirinya, bagaikan punuk
merindukan bulan. Tapi aku tidak peduli, aku tetap harus berusaha
memperjuangkan cintaku kepadanya.
Nayla
namanya, Nayla Ainun Munadhifah. Aku tau dia dari Asnawi, teman terdekatku.
Nayla sebetulnya bukan asli anak desa dimana SMP 1 dan SMP 2 berada, dia
berasal dari desa sebelah, dia pergi sekolah tiap hari dengan jalan kaki.
Selalu berangkat awal dibanding yang lain. Ternyata, dia juga sama duduk di
kelas 8. Karenanya, aku sering menjumpai dia menyempatkan belajar di kursi
kecil depan kelasnya sebelum bel berbunyi. Karena berbeda sekolah, akupun tidak
bisa bermain dekat dengan dia. Apalagi aku sendiri anak yang pemalu dan jarang
bermain dengan anak perempuan.
Selama
aku masih duduk di bangku SMP, perasaan itu hanya tersimpan di benak, tak
pernah terletupkan ucapan tentang kekagumanku pada Nayla kepada siapapun,
kecuali Asnawi sendiri. Karena ia satu-satunya teman yang selalu mengertikanku.
Sampai ia pun sering memberi tahu kabar tentang Nayla yang belum pernah aku
ketahui. Asnawi memberitahuku bahwa Nayla setiap malam selalu mengaji Al Qur’an
di pondok kecil dekat rumahnya, dan itu berjalan sampai Nayla sekarang kelas 8
SMP begitu juga aku.
Di
awal aku menduduki bangku kelas 8, aku bulatkan tekad untuk ikut mengaji Al
Qur’an ditempat Nayla setiap malam mengaji. Walaupun jauh, tapi ini adalah
pengorbananku untuk bisa melihat Nayla setiap hari, pagi hari di Sekolah tapi
itu jarang karena sekolah yang berbeda, atau malam harinya di pondok walau
tidak dalam satu kelas. Yang penting bisa melihat Nayla walau dari jauh.
Aku
merasa mondok disana banyak hal baru yang aku jumpai. Pertama, aku harus
berangkat setelah shalat maghrib dari rumah dengan mengendarai sepeda, setelah
sampai aku dipertemukan dengan asatidz yang galak-galak, Ust. Rouf salah
satunya. Setiap kali ada santri yang masih berkeliaran belum masuk ke kelas, Ia
siap siaga dengan memegang pentungannya untuk menakut-nakuti. Pada saat-saat
itulah, muncul rombongan santriwati yang melenggangkan badan berjalan menuju
pondok dari sebelah utara pondok, dengan menenteng tas di bahunya dan
kitab-kitab di dekap di dadanya. Tersenyum aku melihatnya, karena dari
kerumunan santriwati itu, satu diantaranya ada Nayla. Ya Nayla yang selama ini
aku kejar agar bisa selalu memandang wajah sholihahnya, kelembutan sikap
kesehariannya dan kealimannya.
Setahun
kemudian…
Aku
sudah terbiasa dengan kegiatan dan kebiasaan di Pondok itu dan banyak mendapat
pelajaran, walau hanya menghabiskan waktu dari habis maghrib sampai habis
sekitar jam setengah sembilan malaman. Aku merasa gembira, aku bisa ikut
mengaji disini, walau tujuan awalnya yang salah. Mengaji hanya untuk melihat
Nayla.
Suatu
malam setelah pulang dari pesantren, aku mampir dahulu di pedagang siomay dekat
pesantren. Tak ku kira ternyata tepat di sampingku ada Nayla yang juga sedang
membeli siomay. Tiba-tiba dia memandangku dengan senyuman manisnya sambil
mengucapkan,
“assalamu
‘alaikum…. kamu anak desa sebelah kan?” Tanya Nayla sambil memancarkan aura
ketulusannya.
“wa
wa wa ‘alaikum salam….” Aku jawab dengan sedikit kaget dan terbata-bata.
“IIIyya,,,
neng ” jawaban dari pertanyaannya tadi dengan ucapan neng sebagai tradisi
penghormatan kepada gadis perempuan, teman atau yang lebih muda.
“Neng
namanya Nayla ya…??? Giliranku bertanya.
Dia
tersenyum sambil menjawab,
“
Iya… kok tahu? “, Ujar Nayla dengan suara lirih dan pancaran senyum dari raut
wajahnya.
“
hhhmm… ya cuma tau aja”, jawab aku.
“
eh iyya… saya pulang duluan ya, sudah di tunggu bapak dan ibu di rumah”.
Nayla
pun pergi, dan aku perhatikan dia dengan perasaan sangat-sangat bahagia.
Seketika aku pandangi ia berjalan. setelah agak jauh, aku terkejut, ternyata
Nayla masuk ke rumah Ust. Rouf. Deg.. rasa bahagiaku pun bercampur dengan rasa
khawatir dan takut, ternyata aku baru tahu, Nayla Ainun Munadhifah itu Putri
dari Ust. Rouf yang terkenal super galak dan sangar di pondok. Hhhmm,,,Siap aku harus menghadapi singa padang
pasir itu untuk bisa bertahan sampai suatu saat aku bisa mendapatkan anaknya.
Satu
tahun itu merupakan tahun pertama aku mengaji di Pondok secara kalong,
bertepatan juga dengan masuknya aku di kelas 9 SMP. Aku menikmati jalannya
mengaji dan semua suasana di pondok.
Setiap
malam aku berangkat mengaji, entah kenapa aku tidak pernah lagi melihat pancaran
wajah indah Nayla. Perasaanku tidak enak dan gelisah. Akupun tanya seorang
temannya yang dulu selalu bersama Nayla di Pondok. Kaget sungguh kepalang.
Sedih hati ini rasanya. Belumlah aku bisa akrab dengannya tapi dia sudah pergi
dahulu. Pergi menjauh dariku. Bapaknyalah yang membuatnya pergi, Ust. Rouf. Dia
disuruh untuk melanjutkan ilmu pesantrennya di Bandung, dan melanjutkan kelas 9
SMP di Bandung. Dengan keta’dzimannya terhadap bapaknya, diapun mengikuti apa
kata bapaknya.
Setahun
aku jauh dari Nayla. Tapi aku tetap berusaha untuk tegar. Seperti biasa aku
berangkat pesantren, sepintas aku sering memandangi rumahnya, namun tak juga
Nayla ada. Semenjak Nayla pergi ke Bandung, Tak pernah aku jumpai dia walau
satu kalipun. Aku hanya bisa berharap, suatu saat jika Allah mentaqdirkan aku
bertemu Nayla, aku yakin pasti akan bertemu kembali. Karena aku percaya taqdir
Allah seperti yang diajarkan Ustadz Basyar dalam pengajian tauhid di pondok.
Sampai
akhirnya akupun selesai Ujian Akhir Nasional, kelas 3 SMP sebentar lagi
berakhir. Tinggal aku siapkan rencana berikutnya. Beberapa hari setelah UAN,
Malam harinnya akupun berangkat pesantren dengan menggunakan sepeda BMXku
ditemani beberapa teman. Malam pertama setelah satu minggu libur untuk
persiapan UAN. Malam itu, aku bertemu dan bersalaman dengan Ust. Rouf yang
sedang duduk di kursi depan Kantor Pondok. Di kelas, aku bertemu Ust. Basyar
yang biasa mengajariku setiap malam, Dialah wali kelasku.
Setelah
bubar dari pengajian, rasanya aku ingin membeli somay kesukaanku. Akupun
mendatangi pedagang somay tak jauh dari pondok sebelum aku mengambil sepeda
ditempat penitipan. Terkejut aku ketika mendengar suara perempuan dari samping
kuping kananku.
“
Mang, masih ada somaynya? Nayla mau beli lima bungkus....”
“masih
ada neng,,, ya mang buatin buat tong Angga dulu ya neng….”
Ya
Allah,,, akupun terkejut ketika menengok ke arah kanan, begitu juga Nayla
menengok ke arah kiri ketika ia mendengar nama Angga dari mulut mang somay.
“Assalamu
‘alaikum Neng Nayla…? Bagaimana kabarnya? Alhamdulillah bisa bertemu kembali ya
neng….” Tanya aku dengan perasaan berbinar-binar dan mata berkaca-kaca ketika
memandang Nayla setelah bertahun-tahun tak bertemu, ia tumbuh sungguh lebih
cantik dan sangat indah dari dahulu SMP.
“Wa’alaikum
salam…. Alhamdulillah baik kang Angga….” Jawab Nayla sambil tersenyum manis.
Akupun
balas senyumannya, apalagi setelah ia jawab dengan kata “kang Angga”, Panggilan
Khas dari Bandung. Dengan berusaha percaya diri, akupun coba keluarkan
pertanyaan,
“Neng
Nayla lagi liburan ya?...kemarin ketika UAN bagaimana? Lancar?...” lidahku
mulai bebicara.
“Iya
kang,,, kemarin Nayla UAN di Bandung Alhamdulillah lancar…” Naylapun menjawab
lirih.
“Kalau
boleh tahu… rencana Nayla setelah lulus mau melanjutkan kemana?...”
“hehhhmmm,,,
kata bapak sih Nayla suruh melanjutkan pesantren lagi ke Jawa Tengah, ya Nayla
ikut apa kata bapak saja”... jawaban simpel Nayla sambil mengambil bungkusan
siomay yang sudah jadi sekaligus memberikan uangnya ke mang somay.
“eehhh,,,
kang Angga Nayla pulang duluan ya, tidak enak sama bapak dan ibu kalau
siomaynya keburu dingin”, sambung Nayla sambil pamit mengucapkan salam,
“
Assalamu ‘alaikum… kang”
“
iya neng…wa ‘alaikum salam” aku jawab dengan senyum tersampul rasa kegembiraan.
Perjalanan
pulangkupun diliputi taburan rasa bahagia, sampai aku tersenyum-senyum sendiri.
layaknya perasaan orang yang sudah lama ditinggal perempuan yang ia cintai,
kemudian ia datang bagaikan bidadari turun dari kayangan berkerudungkan sutra
putih, kulit yang putih halus bagai susu, senyuman manis lebih manis dari gula
serasa, tutur bicaranya seolah butiran-butiran mutiara pelan berjatuhan,
sungguh suara jawaban-jawaban dari lisannya seperti tetesan embun pagi
menyejukan hati dan jiwa. Tak terbayang begitu bahagianya aku, sampai larut
malampun aku tetap membayangkannya. Aku pandangi dia dari tembok kamarku
seperti tayangan dalam surga. Terus dan terus bayangannya menari-nari depan
kedua bola mataku. Sampai tak terasa akupun tertidur dan jatuh dalam larutan
mimpi indah bersamanya.
“
Kang Angga…. Kang…. “ Nayla membangunkanku dalam dunia tidurku.
“
aduwh… Nayla, kok bisa ada disini???”
“
Iya Kang, Nayla datang buat Kang Angga…” ujar Nayla dengan menyimpulkan senyum
manisnya.
“
Hah… Masa? Nayla datang jauh-jauh buat akang” tanyaku dengan penasaran.
“
Iya, Kang… Nayla disuruh bapak untuk bertemu akang, dia ridho seandainya suatu
saat Nayla jadi pendamping hidup akang…” ucapan Nayla seolah tetesan embun
pagi, akupun disejukan olehnya.
“
Ya Allah, apa ini benar… sungguh aku bersyukur padamu Ya Allah…”
“
kalau begitu akang siap… akang akan berusaha menjadi Imam yang terbaik dalam
Hidupmu Nayla,,, kelak dalam rumah tangga kita”
Dug..dug…dug…(suara
dari pintu kamarku) Ngga… Ngga… Baanguunn… siap-siap ambil air wudhu, sholat sama
ibu,,, kamu jadi Imam ya Ngga…..
Akupun
terperajat, sambil mengusapkan muka dengan kedua tanganku. Wuuuhhhh… ternyata cuma
mimpi. Akupun tersenyum sendiri sambil tetap mengingat-ingat bayangan Nayla.
“
Iya Bu… tunggu sebentar…” saut aku dari dalam kamar, dengan berharap ,“Ya Allah
semoga apa yang aku tadi impikan bisa menjadi kenyataan”. Lalu akupun
bersiap-siap untuk melakukan shalat shubuh. Salama satu minggu ini memang aku
selalu jadi Imam shalat bersama Ibuku, karena bapakku dan kakak laki-lakiku
sedang melakukan kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga. Merantau ke
seberang pulau.
Ibuku
sudah siap di mushola. Setelah akupun siap, Aku berkata kepada ibu,
“
Mari Bu, kita shalat berjama’ah, lebih cepat lebih afdhol agar mendapat waktu
fadhilahnya shalat”
“
ayu nak, baca qur’annya yang tartil dan merdu ya, biar ibu shalatnya bisa lebih
khusyuk” tambahi ibu. Begitulah ibu, karena beliau selalu senang ketika
dibacakan al qur’an dengan gaya suara merdu seperti di kaset-kaset.
Setelah
aku dan ibu menjalankan shalat shubuh berjama’ah dengan khidmat, seperti biasa
aku dan ibu saling deres al qur’an. Ketika ibu baca aku mendengarkan dan
membetulkan bacaan ketika ada yang salah. Begitu juga ibu mendengarkan ketika
aku membaca. Ibu sendiri karena sudah usia lanjut, beliau membaca harus dengan
kaca matanya. Berbeda dengan aku. Karenanya, ibu terkadang ada bacaan yang
salah lihat, akupun langsung membetulkannya.
Setelah
selesai deres al qur’an bersama, aku sedikit buka bicara. Menanyakan akan
mimpiku tadi.
“Bu…
kalau mimpi itu benar bisa jadi kenyataan nggak sih”, aku mulai bertanya dengan
gaya bahasa akrabku kepada ibu.
“Man…
mimpi itu tidak semua jadi kenyataan, yang jelas mimpi itu hanya bunga tidur,
kalau mimpi baik dan benar berarti datang sebagai anugrah dari Allah SWT. Kalau
mimpi buruk itu berarti datang dari Syaitan. Angga sendiri sebelum tidur baca
do'a dulu tidak? “ jawab ibu dengan penjelasannya.
“Angga
baca do’a Bu… masa sudah lama ngaji di pondok lupa baca do’a sebelum tidur”,
ujarku.
“
ya memangnya Angga mimpi apa?” tanya ibu kembali.
“hhmm…
gimana ya? Sebetulnya ini ada hubungannya dengan perasaan Angga Bu”, jawabanku
simpel.
Akhirnya
aku ceritakan semua tentang perasaanku kepada Ibu, dari mulai aku SMP kelas 2,
kemudian tau dengan yang namanya Nayla, lalu akupun ikut mengaji kalongdi
pondok hanya agar bisa melihat Nayla. Aku juga ceritakan karakteristik Nayla,
segalanya. Sampai pada mimpiku tadi malam.
Kemudian
Ibu menyimpulkan.
“Ya
Sudah… Ibu sih mendukung saja, tapi Anggakan masih kelas 3 SMP, baru saja UAN,
pengumuman kelulusan juga belum. Masih lama Man mikirin yang kaya gituan. Nah…
Alangkah baiknya, Angga sekarang jadikan perasaan itu sebagi motivator yang
mendorong Angga untuk terus jadi yang terbaik, baik buat keluarga, agama,
bangsa, dan Nayla juga senang kalau seandainya tahu Angga seperti itu. Sekarang
yang Angga pikirkan, ingin kemana melanjutkan sekolah SMP?”, ibuku memberikan
pencerahan diakhiri dengan pertanyaan. Akupun seketika mengiyakan ibu. Dan
terpintas kemana aku akan melanjutkan sekolah.
“hhhmm…
iya ya bu…” Sambil aku memanggut kepala dan berpikir, teringat bayangan Nayla
ketika bertemu kemarin malam.
“
Bu, bagaimana kalau Angga ingin mondok ke Jawa Tengah? Angga ingin memperdalam
ilmu agama sambil sekolah disana?”, Inisiatif ini, aku terinspirasi dari Nayla
karena dia juga akan melanjutkan ke Jawa Tengah. Walaupun sebenarnya aku tidak
tahu apa dan dimana pondok pesantren di Jawa Tengah itu.
******
Santri,
Asatidz, dan Kyai, nama-nama itu sudah terbiasa terdengar di telingaku.
Kehidupan yang awam kini berubah dengan nuansa islami. Statusku yang dulu
dirumah berubah menjadi istilah "santri". Keseharian yang dulupun
berubah dengan banyak kegiatan mengaji kepada kyai dan asatidz. Suara adzanpun
tak lepas dari kupingku berkumandang setiap lima waktu. Tanda akupun harus
mendatangi masjid, untuk shalat berjama’ah sebagai kewajiban santri pesantren.
Pesantren yang terletak di Jawa Tengah itu bernuansakan kesejukan. Lokasi yang
dekat dengan Gunung Slamet membawa kedinginan setiap malam sampai shubuh tiba.
Waktu
dua puluh empat jam tiap harinya dihabiskan dengan kegiatan dilingkup
pesantren. Sekolah keagamaan yang masyhur dengan MAK (Madrasah Aliyah
Keagamaan) mengisi acara pagi sampai soreku, ditambah pengajian tambahan dari
setelah asyar hingga larut malam. Ku rasakan semuanya begitu jauh berbeda
dengan apa yang pernah ku jalani sebelumnya ketika di rumah. Namun, semua itu
berjalan dengan senyuman. Karena di pesantren itulah, aku dipertemukan dengan
sosok penyejuk hatiku, Nayla Ainun Munadhifah. Akhirnya, aku bisa bersama Nayla
dalam satu pondok pesantren. Sungguh kebahagiaan tersendiri bagiku. Hanya saja,
kami tidak bisa bertemu dan bertatap muka layaknya pergaulan bebas di rumah,
kami terikat oleh pesantren, penjara suci yang dikelilingi pagar yang berduri
peraturan. Siapa orangnya berani menerobos pagar duri itu, dia akan terkena
akibatnya. Duri itu akan melukai dirinya tanpa pandang bulu siapa orangnya.
Tata tertib pesantren membuatku hanya bisa menyaksikan Nayla dari arah yang
berjauhan, karena dilarang bagi kaum ajnabi berdekatan dengan bukan mahromnya.
Beberapa
tahun lamanya di pesantren, semua benak perasaanku aku tanam dalam hatiku, tak
berani aku berbuat yang bisa berakibat fatal bagi masa depanku. Sekali berbuat
kesalahan ta'ziranpun akan datang menghantam. Entah dalam bentuk apa, aku tak
mau terkena ta'ziran sekecil apapun. Aku hanya ingat pesan ibuku, “ jadikan perasaan cinta kepada seseorang
itu sebagi motivator yang mendorong untuk terus jadi yang terbaik”. Dari
situlah, aku bertekad, walaupun perasaanku kepada Nayla ini tersimpan dalam
bathinku, aku akan buktikan, aku harus jadi yang terbaik. Setidaknya dengan
demikian Nayla akan merasa kagum padaku. Dengan modal kemampuan pas-pasan,
hanya lulusan SMP, akupun bejuang mati-matian agar dapatkan apa yang aku
inginkan. Porsi belajarku aku tambahkan full sampai larut malam. Setiap setelah
pelajaran aku rutinkan muroja’ah. Materi agama dan umum aku kuasai semua.
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris aku pelajari dan selalu aku praktekan. Semua
jerih payah aku kerahkan, dengan niat aku ingin bisa jadi yang terbaik, orang
tuaku kan senang. Dan yang utama Naylapun akan mengetahui siapa aku.
*****
Setelah
lima semester kulalui, namaku selalu terpampang di barisan rangking kesatu,
kedua atau ketiga. Karena sulitnya pesaingan di kelas, aku tidak bisa konsisten
di peringkat kesatu, tapi aku bersyukur karena rangking satuku tetap
mendominasi. Setiap akhir semester pengumuman peringkat kelas selalu diumumkan
dan dipampangkan. Akupun yakin Nayla pasti melihat hasil dari jerih payahku.
Suatu
pagi, bertepatan dengan setelah pengumuman semester pertama kelas 3, ketika
berangkat sekolah, aku tak sengaja bertemu papasan dengan Nayla di tangga
lantai dua sebelum masuk ke kelas. Tak ku sangka, Nayla tersenyum sambil mengucapkan
beberapa patah kata,
“Selamat
ya Kang Angga, atas prestasi yang diraih selama di MAK….!!!” Suara itu layaknya
butiran-butiran mutiara berjatuhan dari lisan Nayla membuatku terlena kepayang.
Dengan
senyum pula akupun menjawab,
”terima
kasih neng, mungkin itu juga berkat do’a dan dukungan neng dari belakang, ”….
aku balas dengan sedikit kata-kata so-PD, yang aku yakin itu ada benarnya.
“Nayla
ke kelas duluan kang… tidak enak kalau kelihatan orang lain”, ujar Nayla dengan
mata malu.
“
Iya Neng, sekali lagi makasih”, saut aku membalas sebelum Nayla pergi.
“
Iya Kang”… Ia pergi dengan agak dicepat-cepatkan jalanya sambil
tersenyum-senyum.
Akupun
bergoyang-goyang bahagia, apa yang aku upayakan ternyata terbukti Naylapun
menaruh rasa kagum padaku, aku terlena dengan keceriaan pagi hari itu.
Setelah
semester satu kelas 3 berakhir, tinggal tancap gas terakhir untuk menuntaskan
jenjang sekolah di MAK. Ujian Nasional SLTA diambang mata sekitar tiga bulan
kedepan. Aku tidak bisa tinggal diam. Tidak bisa aku terlena dengan hasil baik
prestasiku sebelumnya. Semua harus aku selesaikan dengan baik, dan di akhir
akupun harus bisa khusnul khotimah, baik di sekolah atau juga di pesantren.
Apalagi aku merasa iri kepada kakak kelas yang dahulu telah lulus, lalu bisa
melanjutkan ke Universitas Negeri di Jawa Timur sambil mondok. Dari situ, aku
juga berharap mudah-mudahan UAN nanti bisa berhasil dan bisa mengantarkanku ke
Universitas di Jawa Timur. Walau belum terbayang dari dahulu untuk kuliah di Jawa
Timur, tapi setelah aku mendapat banyak pelajaran dan kajian agama, aku mulai
mengerti.
******
Beberapa
bulan kemudian,
Aku
dinyatakan lulus UAN dengan predikat Amat Baik. Disamping itu pula, aku
mendapat pengumuman kelulusan beasiswa Jawa Timur. Sesuai dengan target, apa yang
aku rencanakan berhasil. Kedua pengumuman itu aku terima dengan rasa bahagia,
bangga dan puas. Karena jerih payahku selama di pesantren terbalaskan dengan
prestasi baik. Kedua orang tuakupun takjub. Tidak percaya aku bisa seperti itu,
padahal aku lulusan SMP, tapi bisa bersaing dengan teman-teman lain yang latar
belakang keagamaannya lebih baik. Aku tersenyum saja,,, karena dibalik itu
semua, aku termotivasi oleh sosok Nayla yang senantiasa menjadi penyemangat
hidupku, gelora wajahnya selalu terpancar dalam bayanganku layaknya tetesan
embun yang membasahi dedaunan di setiap pagi. Akulah si dedaunan yang beruntung itu, karena setiap aku ingat
kepadanya, aku bangkit untuk berusaha menjadi yang terbaik walaupun banyak yang
lebih baik dariku. Setidaknya, aku bisa dilihat baik di mata Nayla. Entah
tetesan embun cinta apa yang telah merasuki tubuh ini, sehingga aku selalu
merasa sejuk ketika ia hadir dalam bayanganku.
*****
Suatu
ketika dimana aku di hadapkan dengan masa depanku. Aku merasa kebahagiaan ini
terkikis oleh masa. Aku terpikir sejenak, akhirnya aku sadar. Aku telah salah
dalam melangkah. Semua yang aku lakukan untuk agama aku lakukan dengan niatan
yang salah. Bermula dari aku pesantren kalong di kampung hingga kini aku
berhasil mencapai yang aku citakan. Semuanya karena Nayla, seorang perempuan
biasa, yang hanya diberi kelebihan oleh Allah SWT hingga bisa menghipnotis
hatiku sehingga terpedaya. Aku berjuang pesantren malam hanya untuk melihat
Nayla. Aku tekadkan pesantren di Jawa Tengah hanya untuk bisa hidup lebih dekat
dengan Nayla. Aku berusaha meraih prestasi terbaik hanya agar mendapat
perhatian Nayla. Semua itu salah… aku tidak niatkan semua itu untuk kebaikan
semata-mata karena Allah. Tapi malah karena seorang perempuan. Karena itulah
aku merasa rasa bahagiaku tidak seperti hakikat kebahagiaan.
Dalam
shalat istikharahku, Aku merasa bersalah Allah SWT, menggantikan kedudukan-Nya
dalam niat baikku. Setelah aku bertafakkur, rasanya hati ini menuntunku tuk
coba melupakan Nayla, aku tidak ingin selamanya berada dalam jalan yang salah.
Karena semata-mata untuk Nayla. Walau aku yakini bahwa memang melalui Nayla lah
Allah memberiku jalan kebaikan. Berkat tetesan embun cinta Nayla membuatku
terangkat untuk mengikuti jalan baiknya.
Sebelum
aku meninggalkan kampungku, aku bulatkan membuka lembaran hidup baru kehidupan
baru, dengan tidak menggantungkan diri pada Nayla, tapi hanya pada Allah SWT
semata. Dan aku yakin, kalau seandainya memang Nayla adalah jodohku, Allah SWT
tak kan menjauhkannya dariku, aku pasti dipertemukan kembali. Keikhlasanku
terpancar karena aku yakini Taqdir Allah SWT yang senantiasa bersama
orang-orang yang sabar. Memasrahkan segala urusannya kepada-Nya. Dan hakikat
cinta sebenarnya hanyalah kepada Allah SWT.
Ketika
itu aku mulai menyadari bahwa perasaan cintaku yang mendalam pada Nayla harus
disikapi dengan bijak. Aku tidak mau terbawa perasaan labil seperti remaja
sekarang.
Nayla
sudah nampak memperlihatkan ketertarikan padaku, apalagi ust Rouf yang telah
mengenal dan mendidikku sebagai santri yang taat dan berprestasi.
Meskipun
demikian aku merasa belum mampu untuk menikah dengan Nayla walaupun aku
memiliki perasaan cinta yang begitu besar dengan Nayla. Menikah tidak cukup
modal dengan cinta dan dengkul.
Nayla
dan aku akhirnya menjauh dengan perlahan demi perlahan. Dia kemudian karena di
dorong terus menerus oleh orang tuanya menikah karena umurnya sudah sepantasnya
untuk menikah sehingga tidak terjerumus pada perbuatan-perbuatan maksiat dengan
alasan pacaran syar’I dengan embel-embel Ta’aruf.
Akhirnya
Nayla pun dinikahkan dengan orang yang lebih siap daripada aku. Entah apa yang
aku rasakan setelah liburan semesteran kuliah aku mendapat undangan dari
pernikahan Nayla yang membuatku tidak bisa melupakannya dulu karena aku belum
mendapat ridho dari Ibuku. Memang benar ridho Allah terdapat di ridho orang
tua.
Aku
pun ketika mendapatkan undangan pernikahan dari Nayla, aku mengatakan kalau aku
tidak akan berangkat karena aku sudah memasuki masa perkuliahan. Sehingga dia merasa
sedih karena aku yang pernah menjadi bagian dari kenangan dan memori indah
tidak bisa hadir di acara terpenting dalam hidupnya.
Setelah
beberapa saat aku merenung, memikirkan perasaan Nayla dan keluarganya. Aku pun
memutuskan untuk kembali ke kampung halaman dan izin dari masa perkuliahan
selama beberapa hari.
Hari
yang dinantikan telah tiba, ya hari pernikahan Nayla. Aku pun sudah memutuskan
untuk datang ke pernikahan Nayla, namun aku tidak sendiri. Aku mengajak teman
wanita untuk mendampingiku, alasanku mengajak teman karena beberapa
pertimbangan. Menjaga perasaan orang tua Nayla, kalau Angga datang bisa mengacaukan acara Nayla. Kalau Angga masih
sendiri aku merasa bersalah kenapa tidak menikahkan Nayla pada Angga yang telah
lama akrab dan baik dengan keluarga. Dan kalau Angga datang sendiri gimana
perasaan Nayla dan suaminya.
Tetapi
Angga sudah memutuskan untuk mengajak teman wanita untuk mendampingi ke
pernikahan Nayla. Singkat cerita Angga yang dulu pernah dekat dan akrab dengan
keluarga Nayla pun bertemu dengan ibu Nayla.
“ehh
nak Angga, datang kesini sama siapa?”
“njeh
bu, niki kulo kaleh niki (sambil menunjuk teman wanitanya)” jawab Angga tidak
mau bohong kalau mengatakan teman wanitanya adalah pacarnya.
Kemudian
setelah itu beberapa saat kemudian teman wanitanya mulai jenuh sehingga
mengajak Angga untuk segera pulang. Akan tetapi Nayla yang berdiri di panggung
mengetahui kalau Angga dan pasangannya mau pulang. Kemudian Nayla meminta
ibunya untuk menahan Angga pulang setelah foto bersama dengan penggantin.
Setelah
foto keluarga mempelai laki-laki dan perempuan selesai. Tibalah saat untuk
Angga dan pasangannya foto bersama dengan penggantin. Angga berdiri di samping
suami Nayla. Dan pasangan Angga berdiri di samping Nayla. Setelah foto bersama Angga
bersalaman kepada suami Nayla dan mendoakan barokah penggantin. Kemudian Angga
bertatap muka dengan Nayla, seseorang yang pernah sangat spesial di hatinya. Angga
mengucapkan selamat kepada Nayla dengan suara terbata-bata. Dia tak kuasa
menahan gejolak di dalam dadanya yang mengatakan dia masih mencintai Nayla. Tak
di sangka Nayla pun dahulu juga memendam perasaan cinta kepada Angga. Karena Angga
dahulu belum mempunyai kesiapan untuk melanjutkan ke jenjang hubungan yang
lebih serius, sedangkan umur Nayla sudah pantas untuk menikah. Akhirnya Nayla
pun mendapatkan seorang suami yang siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga
dengannya.
Angga
kemudian berusaha menyembunyikan perasaannya dengan senyum menipu dan tertawa
renyah dalam bercanda kepada penggantin. Ya memang Angga pandai menyembunyikan
perasaanya, sehingga menurut penilaian orang dia bahagia, tetapi hanya dirinya
sendiri yang mengetahui kalau dirinya menderita.
Angga
berhasil menipu semua orang kalau dirinya tidak menderita dengan pernikahan
Nayla yang merupakan cinta pertamanya. Semua orang mengira dia ikut bahagia
atas pernikahan Nayla. Sampai teman wanitanya bertanya.
“mas
aku heran, kamu kok tadi di perkawinan, malah ketawa-ketawa dan senyum-senyum. Tidak
kelihatan kesedihan kamu, padahal mantan terindah kamu menikah dengan laki-laki
lain.”
“kamu
heran kenapa aku tidak sedih, malah bisa tertawa dan tersenyum. Karena apa yang
ada di balik senyumku, aku bisa menyembunyikan perasaan kecewaanku.” Jawabku penuh
arti.
Setelah
mereka menikah aku pun masih terkadang berkomunikasi dengan Nayla. Kami masih
menjalin tali silaturrahim dengan baik. Kami tidak pernah bermusuhan meski
sudah tidak menjadi sepasang kekasih.
Beberapa
tahun kemudian aku mendapat kabar, kalau ternyata Nayla sedang mengandung anak
pertamanya. Betapa bahagianya Nayla dan suaminya sebentar lagi mereka akan
kedatangan sang buah hati. Aku pun ikut bahagia dengan kehamilan Nayla.
Tanpa
di sangka-sangka beberapa bulan kemudian Nayla menjadi sangat frustasi dan depresi
setelah keguguran di usia kehamilan tua. Dia gagal mendapatkan buah hati dari
pernikahannya.
Aku
pun sampai sekarang masih mengingat berbagai kenangan indah dengan Nayla. Dia banyak
mengajarkan aku banyak hal. Ketika aku baru mengenalnya, aku menjadi sangat
termotivasi menjadi yang terbaik karena dia, aku mendapatkan pelajaran berharga
seusai mendatangi pernikahan dari Nayla.
Pelajaran itu yang akan selalu aku
kenang dalam hidupku.
Ada sesuatu yang tidak ingin kita
tinggalkan, tapi harus kita tinggalkan. Ada orang yang tidak ingin kita
tinggalkan, tapi harus kita tinggalkan. Meninggalkan bukan akhir kehidupan. Melainkan
awal dari sebuah kebahagiaan. Jika kamu percaya pada cinta. Cinta yang akan
datang padamu, bukan kamu yang
mendatanginya.
Terkadang
kita perlu untuk mnengok masa lalu, bukan untuk meratapinya tapi untuk
mengenang, belajar & intropeksi diri sudahkah kita lebih baik? Akankah kita
jatuh di lubang yg sama! Pengalamanlah yang mendewasakan kita, ia adalah guru yang
terbaik bagi kita.
Langganan:
Postingan (Atom)