Welcome to blog Angga Ardinata

Kamis, 07 April 2011

ASAL USUL KOTA KUDUS

sunan-kudus1
Kota Kudus yang sekarang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus di Provinsi Jawa Tengah, pada zaman dahulu hanyalah sebuah desa kecil di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kedudukannya tidak dianggap penting, kecuali sebagai salah sate tempat persinggahan lalu lintas ekonomi dari pelabuhan Jepara ke pedalaman Majapahit dan sebaliknya.
Pada suatu saat, bermukimlah ke desa kecil itu seorang pedagang Cina bernama Sun Ging. Selain berdagang, Sun Ging yang ahli ukir itu mengembangkan keterampilannya mengukir sehingga banyaklah orang belajar mengukir di rumahnya. Lama-lama keahlian Sun Ging tersiar sampai ke istana Majapahit sehingga dipanggillah Sun Ging untuk mengukir hiasan-hiasan keraton. Setelah pekerjaan besar itu terselesaikan dengan balk dan memuaskan, ditanyalah Sun Ging oleh sang Raja.
“Hadiah apakah yang engkau inginkan dari Majapahit?”
“Sekiranya diizinkan, berilah hamba sebidang tanah di tempat hamba bermukim selama ini, biarlah hamba kelak mencangkulinya.”
“Mengapa tidak memohon hadiah emas permata atau putri Majapahit yang cantik jelita?” tanya sang Raja kemudian.
“Pada pendapat hamba, sebidang tanah itu sudah sangat berharga bagi hamba sendiri. Tanah itu kelak dapat dicangkuli sampai menghasilkan emas permata. Dengan demikian, hamba tak perlu kembali ke negeri asal yang jauh.”
“Jika tak hendak kembali ke tanah asalmu, apakah engkau sanggup berbakti kepada Majapahit?” kata sang Raja seolah ingin menguji kesetiaan Sun Ging.
“Sekiranya diizinkan, hamba ingin mengabdi sepenuh hati,” jawab ahli ukir itu dengan harapan akan segera menerima hadiahnya. -
Setelah menerima piagam hadiah itu, dengan gembira dan bangga Sun Ging memohon izin kembali ke desanya dengan niat mendirikan sebuah perguruan ukir. Ternyata niat itu pun terkabul, terbukti dengan semakin banyaknya orang yang belajar mengukir di perguruan itu. Kemudian, desa itu terkenal dengan nama Sunggingan, karena berasal dari nama pemiliknya Sun Ging, sedangkan akhiran -an berarti tempat tinggal. Jadi, Sunggingan berarti tempat tinggal keluarga Sun Ging.
Akan tetapi, cerita lain menyebutkan bahwa nama Sunggingan itu berarti tempat orang-orang menyungging yang berarti melukis atau mengukir. Dalam bahasa Jawa, juru sungging berarti ahli lukis atau tukang ukir. Dalam cerita ini disebutkan bahwa pemilik Sunggingan ialah The Ling Sing, yaitu seorang pedagang Cina yang dalam cerita terdahulu bernama Sun Ging.
Keramaian ekonomi desa Sunggingan ternyata terns berkembang walaupun pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sudah tak terdengar kabarnya. Hal itu memikat perhatian Raden Patah yang sudah
berhasil mendirikan Kerajaan Islam Demak Bintoro di Demak yang tak jauh dari desa itu.
“Desa Sunggingan itu kelak dapat menjadi sebuah kota besar yang penting di dekat Jepara yang sudah berkembang sebagai pelabuhan. Oleh karena itu, perlu segera diislamkan agar dapat mendukung perkembangan Demak Bintoro,” pikir Raden Patah.
Tak lama kemudian, diperintahkanlah kepada Syekh Jafar Sodiq, seorang ulama besar dari Persia, untuk mengislamkan Sunggingan.
Mendengar perintah itu berkemaslah Syekh Jafar Sodiq hijrah dari Demak Bintoro ke desa Sunggingan dengan beberapa orang santri terdekatnya. Sesampai di sana terlihatlah sebuah bangunan pintu gerbang Kerajaan Majapahit yang sudah tidak dipelihara orang. Hal itu justru memberikan ilham bagi Syekh Jafar Sodiq untuk memugarnya kembali agar memikat simpati masyarakat setempat yang masih memeluk agama Hindu sebagai warisan kebesaran Majapahit.
Pada mulanya di gerbang atau gapura itulah Syekh Jafar Sodiq mengundang masyarakat untuk men­dengarkan ajaran-ajaran barn yang disebut Islam. Caranya ialah dengan menambatkan seekor sapi jantan yang gemuk di dekat gerbang itu. Masyarakat pun tertarik menyaksikan sapi yang merupakan hewan terhormat dalam agama Hindu. Setiap kali orang berkerumun di tempat itu, berkhotbahlah Syekh Jafar Sodiq untuk mengajak masyarakat memeluk Islam. Berkat kesabaran, keramahan, dan kewibawaan pribadinya maka dalam waktu singkat sebagian besar penduduk Sunggingan telah memeluk agama Islam, termasuk The Ling Sing sendiri yang kemudian bergelar Kiai Telingsing. Bahkan, Syekh Jafar Sodiq pun akhirnya bermukim di sana dan kelak terkenal dengan sebutan Sunan Kudus.
Sebagai tokoh syiar Islam yang berasal dari negeri asing, wajarlah Syekh Jafar Sodiq membawa-bawa. keagungan atau kebesaran negerinya sendiri. Hal itu diperlihatkannya dalam membangun sebuah mesjid di dekat gerbang atau gapura desa itu. Pada bagian kiblat mesjid itu dihiasi lempengan-lempengan batu hitam yang berasal dari negeri Persia yang dipersamakan dengan batu Hajar Aswad di Kakbah. Hiasan itu disebutnya Al Kuds yang berarti suci atau keramat. Tak lama kemudian, mesjid itu pun dikenal masyarakat sekitarnya dengan sebutan mesjid Kudus, yaitu sebuah mesjid yang dihiasi lempengan-lempengan batu AlKuds atau batu-batu yang suci.
Apa yang diramalkan Raden Patah ternyata menjadi kenyataan. Setelah Syekh Jafar Sodiq bermukim di desa Sunggingan dan berhasil membangun sebuah pesantren, berkembanglah desa atau wilayah itu. Semakin banyaklah orang dari berbagai daerah lain yang berniat belajar mengaji dan mencari kehidupan barn dengan bertani, berdagang, mengukir, dan sebagainya. Desa Sunggingan yang dirintis oleh The Ling Sing berkembang menjadi pesantren dan kota yang oleh penduduk setempat disebut Kudus, dan Syekh Jafar Sodiq pun kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kudus.
Gerbang atau gapura Majapahit yang telah dipugar oleh Syekh Jafar Sodiq ternyata menjadi salah satu ciri khas kota Kudus. Bangunan itu terkenal dengan sebutan Menara Kudus, aslinya berada di dekat mesjid Sung­gingan, sedangkan tiruannya didirikan di depan sebuah pusat perbelanjaan kota Kudus. Ternpat lain yang bersangkutan dengan asal usul kota itu ialah makam Kiai Telingsing yang nama aslinya The Ling Sing. Makam itu terdapat di desa Sunggingan, sekarang hanya sebuah desa di dalam wilayah kota Kudus yang semakin semarak perkembangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar