Abu Hamzah
(bag. 2)
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan kepada saya untuk merampungkan bagian kedua ini. Kita lanjutkan dengan bagian Kelima: Saudara saya yang disebut -atau yang menamakan dirinya- anak bau kencur itu menceritakan bahwa Abu Hamzah megucapkan: “Bid’ah dalam beribadah adalah membuat cara-cara baru dalam ibadah yang belum pernah diajarkan pada masa Rasulullah saw, seperti membaca sholawat yang disusun oleh kalangan ulama shufi, berdoa dengan doa-doa yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw dan sahabat dan berdzikir secara keras dan bersama-sama sehabis shalat berjamaah.”
Mendengar pernyataan ini, seorang peserta yang masih belum selesai S1 di STAIN Jember bertanya kepada Abu Hamzah, “Kalau bapak mendefinisikan bid’ah seperti itu, kami punya tiga pertanyaan berkaitan dengan konsep bid’ah yang Anda sampaikan.
Pertama, bagaimana dengan redaksi shalawat yang disusun oleh Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i dan lain-lain, yang jelas-jelas tidak ada contohnya dalam hadits Rasulullah saw. Beranikah Anda mengatakan bahwa dengan sholawat yang mereka susun, berarti Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i itu termasuk ahli bid’ah?
***
Saya katakan: Secara umum kutipan ini benar, tetapi perlu saya jelaskan bahwa selama saya berdakwah tidak pernah saya langsung menjadikan dzikir dengan suara keras sehabis shalat berjama’ah itu sebagai contoh bid’ah –meskipun memang demikian pendapat yang rajih, jika itu dengan cara jama’i dan terus menerus-. Saya dalam hal ini senantiasa menirukan ucapan imam Syafi’i rahimahullah bahwa yang mustahab atau sunnah setelah shalat berjama’ah adalah dzikir sendiri-sendiri secara sirri, kecuali jika imam ingin mengajarkan atau memberitahukan kepada jama’ah apa yang dia baca maka ia mengeraskan hingga mereka faham lalu kembali sirri. Perhatikan ucapan Imam Syafi’i berikut terutama yang warna biru dan bergaris bawah (berikut terjemahannya):
الأم – (ج 1 / ص 150)
باب كلام الامام وجلوسه بعد السلام
…… عن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من صلاته قام النساء حين يقضى تسليمه ومكث النبي صلى الله عليه وسلم في مكانه يسيرا ….
…..عن عباس قال كنت: أعرف انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم بالتكبير ……..عن أبى الزبير أنه سمع عبد الله بن الزبير يقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من صلاته يقول بصوته الاعلى ” لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شئ قدير ولا حول ولا قوة إلا بالله ولا نعبد إلا إياه له النعمة وله الفضل وله الثناء الحسن لا إله إلا الله مخلصين له الدين ولو كره الكافرون “
(قال الشافعي) وهذا من المباح للامام وغير المأموم قال: وأى إمام ذكر الله بما وصفت جهرا أو سرا أو بغيره فحسن واختيار للامام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماما يجب أن يتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تعلم منه ثم يسر فإن الله عزوجل يقول ” ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها ” يعنى والله تعالى أعلم الدعاء ولا تجهر ترفع ولا تخافت حتى لا تسمع نفسك وأحسب ما روى ابن الزبير من تهليل النبي صلى الله عليه وسلم وما روى ابن عباس من تكبيره كما رويناه (قال الشافعي) وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه ذلك لان عامة الروايات التى كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم ]
الأم – (ج 1 / ص 151)
[ تهليل ولا تكبير وقد يذكر أنه ذكر بعد الصلاة بما وصفت ويذكر انصرافه بلا ذكر وذكرت أم سلمة مكثه ولم يذكر جهرا وأحسبه لم يكث إلا ليذكر ذكرا غير جهر فإن قال قائل ومثل ماذا؟ قلت مثل أنه صلى على المنبر يكون قيامه وركوعه عليه وتقهقر حتى يسجد على الارض وأكثر عمره لم يصل عليه ولكنه فيما أرى أحب أن يعلم من لم يكن يراه ممن بعد عنه كيف القيام والركوع والرفع يعلمهم أن في ذلك كله سعة واستحب أن يذكر الامام الله شيئا في مجلسه قدر ما يتقدم من انصرف من النساء قليلا كما قالت أم سلمة ثم يقوم وإن قام قبل ذلك أو جلس أطول من ذلك فلا شئ عليه وللمأموم أن ينصرف إذا قضى الامام السلام قبل قيام الامام وأن يؤخر ذلك حتى ينصرف بعد انصراف الامام أو معه أحب إلى له وأستحب للمصلى منفردا وللمأموم أن يطيل الذكر بعد الصلاة ويكثر الدعاء رجاء الاجابة بعد المكتوبة.
"….imam mana saja yang berdzikir kepada Allah dengan apa yang telah saya jelaskan, dengan suara keras atau pelan, atau dengan lainnya maka baik. Pilihan (yang baik) untuk imam dan makmum adalah berdzikir kepada Allah sehabis shalat dan menyamarkan dzikir, kecuali jika seorang imam yang wajib (para jama'ah) belajar darinya maka ia mengeraskan hingga yakin bahwa jama'ah telah belajar darinya kemudian (kembali) menyamarkan. …..Saya kira beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengeraskan sedikit agar manusia mempelajari hal itu…… saya kira beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak duduk kecuali untuk berdzikir dengan dzikir yang tidak keras….Saya menganjurkan kepada orang yang shalat, baik sendirian maupun makmum agar memperpanjang dzikir sehabis shalat dan memperbanyak doa dengan harapan diijabahi setelah shalat fardhu." (Al-Umm, 1/150)
Baiklah, sekarang kita bahas dulu pengertian dan pembagaian bid'ah secara singkat, agar kita bisa memahami masalah ini dengan benar:
Bid'ah secara bahasa adalah membuat hal baru tanpa ada contoh sebelumnya. Hal baru ini ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyiah (buruk). Persis sebagaimana sunnah, secara bahasa sunnah adalah thariqah dan sirah (jalan atau cara yang ditempuh), maka secara bahasa, ada sunnah hasanah dan ada sunnah sayyiah, ada sunnah Nabi dan ada sunnah selain Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Namun secara istilah yang dimaksud dengan sunnah adalah sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan yang dimaksud dengan bid'ah adalah hal baru yang menyalahi Sunnah Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu secara istilah, setiap sunnah itu hasanah dan setiap bid'ah itu sayyiah. Dalam hal ini Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallambersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي ،عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
"Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah olehmu hal-hal baru karena sesungguhnya setiap hal baru itu bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di neraka." (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih) [Abu Dawud, no. 4607, Tirmidzi no. 2676]Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i menggunakan kata sunnah secara bahasa -saat beliau mengungkapkan sikapnya kepada sebagian ahli bid’ah (ahli ahwa`)- beliau berkata:
سُنَّتِي فِيهِ سُنَّةُ عُمَرَ فِي صَبِيغٍ
“Sunnahku (caraku) terhadap orang itu adalah sunnah Umar (cara Umar) terhadap Shabigh (yaitu dipukul dengan pelepah kurma dan diarak di kota serta diasingkan).”Al-Imam al-Syafi’i juga menerangkan pembagian bid’ah menurut bahasa sebagai berikut:
اَلْمُحْدَثَاتُ من الأمور ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أو أثراً أَوْ إِجْمَاعًا فهذه بِدْعَةُ ضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ من الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. .قد قال عمر في قيام رمضان: “نعمت البدعة هذه “.)) (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
“Muhdatsat (hal-hal baru) dalam perkara-perkara itu ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau atsar atau Ijma’, maka ini adalah bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru diadakan dari kebaikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Qur’an, Sunnah, atsar dan Ijma’) maka ia adalah muhdatsah yang tidak tercela. Umar ra telah berkata tentang qiyam Ramadhan: sebaik-baik bid’ah adalah ini” (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
***
Membuat hal baru ini ada dua bidang:Pertama: Bidang dunia (hal yang biasa diperlukan dan bermanfaat dalam hidup di dunia ini) seperti alat-alat transportasi, alat-alat komunikasi modern dst. Maka ini hukum asalnya adalah mubah (tidak termasuk dalam istilah bid’ah).
Diantara dasarnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam riwayat Hammad ibn Salamah dari Hadits Anas Radhiallahu ‘Anhu yang dikeluarkan oleh Imam Muslim:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengerti tentang urusan dunia kalian.”Juga riwayat Abu Kamil al-Jahdari dari hadits Thalhah dikeluarkan oleh al- Bazzar dengan lafazh:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِمَا يُصْلِحُكُمْ فِي دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengerti tentang apa yang memperbaiki dalam urusan dunia kalian.”Oleh karena itu tidak tepat ucapan orang yang mengatakan bahwa “kalau Anda mengatakan semua bid’ah itu sesat maka jangan pakai motor, komputer, HP, kereta api, kaca mata dan lain-lain karena itu adalah bid’ah. Jika Anda memakainya itu berarti Anda mengakui bahwa tidak semua bid’ah itu jelek.”
Juga tidak tepat ucapan di sebagian situs pembela bid’ah yang menolak (atau menakwil) hadits “kullu bid’atin dhalalah” dengan mengatakan:
“Terus terang, Muka Anda juga bid’ah, karena tidak ada di zaman Nabi Saw. Saya ucapkan selamat menjadi orang sesat. Sebab Nabi Saw. tidak pernah memakai resleting, kemeja, motor, atau mobil seperti Anda. Semua itu bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat!”
Ucapan senada begitu sering kita dengar dari seorang guru atau alim ketika menerangkan tentang bid’ah. Sungguh naïf! Itu bukan bid’ah yang tercela, tetapi jika ada yang ngeyel menyatakan itu bid’ah, maka yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa! Sekali lagi secara bahasa! Bukan bid’ah dalam istilah, yang dihukumi oleh baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “setiap yang bid’ah itu adalah sesat!” Kalau kita pahami hal ini secara benar, niscaya tidak akan keluar dari lisan kita ucapan dan pernyataan yang menggelikan seputar bid’ah!!
Kedua: Bidang diin (agama, yang menjadi tugas dan urusan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Maka membuat perkara baru dalam hal ini hukumnya haram.
Dasarnya antara lain, sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdari Ummul Mukminin Radhiallahu ‘Anha, yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
« مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ »
وَفِي لَفْظٍ (( مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ))
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak’.”Dan dalam riwayat lain milik Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada dasar agama kami atasnya maka ia tertolak.”
Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jami’ul Ulum wal-Hikam mengatakan: sebagian lafazhnya adalah:
مَنْ أَحْدَثَ فِي دِينِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan hal baru dalam agama kami ini apa yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak’.”Itulah redaksi yang dikeluarkan oleh Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Sulaiman ibn Habib al-Asadi al-Misshishi al-Baghdadi yang dikenal dengan Luwain (w. 245 H) dalam kitabnya yang dikenal dengan Juz` min Hadits Luwain al-Misshishi no. 69, yang kemudian disebutkan oleh Imam al-Baghawi dalam Syarah al-Sunnah dan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (3 tempat), Syaikh ‘Adhuddin al-Iyji dalam al-Mawaqif, Syaikh Abdul Muhsin al-Badr dalam al-Hats ‘Ala Ittiba’ as-sunnah wat-Tahdzir minal Bida’ wa Bayan Khathariha, Syaikh Abdullah ibn Abdul Aziz at-Tuwaijiri dalam Tesisnya al-Bida’ al-Hawliyyah.
Bid’ah dalam agama ini ada 2 (bisa juga dibagi berdasarkan sudut pandang lain):
- Bid’ah qawliyyah I’tiqadiyyah: seperti makalah-makalah (ucapan-ucapan) kelompok Jahmiyyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah (Syi’ah), Shufiyyah Ghulat (ekstrim), Quburiyyah, Musyabbihah, Mujassimah, Mu’atthilah, ‘Aqlaniyyah, Bathiniyyah, JIL dan firqah-firqah sesat lainnya, beserta keyakinan mereka. Bid’ah keyakinan hari-hari naas, termasuk bid’ah tidak mau menjenguk orang sakit di hari Sabtu karena keyakinan hari naas.
- Bid’ah ibadah: seperti bertaqarrub (mendekat) kepada Allah dengan ibadah yang tidak pernah disyari’atkan. Hal ini ada banyak bentuk:
- Bid’ah pada asal ibadah itu sendiri, seperti:
- Membuat shalat baru yang tidak disyariatkan, seperti shalat Raghaib di Jum’at pertama bulan Rajab, Shalat Alfiyyah malam Nishfu Sya’ban, shalat Kifayah, shalat Asyura`, shalat Syukur atas kematian Aisyah yang diajarkan Yasir Habib ar-rafidhi az-Zindiq al-la’iin, Shalat al-Khamis setelah shalat Jum’at di akhir Ramadhan dengan keyakinan bahwa itu bisa menebus semua shalat selama setahun lalu atau selama seumur yang ditinggalkan.
- Membuat puasa baru yang tidak disyariatkan seperti puasa mutih, puasa pati geni, puasa ngebleng, puasa awal tahun dan akhir tahun dlsb.
- Membuat hari raya baru yang tidak disyariatkan seperti menyalakan api unggun atau lilin setiap malam nishfu sya’ban, memakai pacar, celak dan membuat makanan khusus di hari Asyura`, merayakan hari raya maulid Nabi Isa ‘Alaihi Sallam, dll).
- Bertaqarrub dengan sujud saja selain sujud shalat, sujud syukur, sujud tilawah, dan sujud sahwi. Begitu pula taqarrub dengan ruku’ saja.
- Mencium kuburan, mengetuk-ngetuk bagungan kuburan, atau mengusap-usap batu nisan atau pagar kuburan, atau sujud pada kuburan, saat ziarah kubur para wali.
- Bid’ah tambahan dalam ibadah, seperti menambah satu rakaat pada shalat fardhu, tambahan syahadat (asyhadu anna ‘aliyyan waliyyullah/hujjatullah) dalam adzan orang syiah, Tatswib (ucapan as-Shalatu Khairun minannaum) pada adzan selain subuh, menambah shalawat dalam shalat dengan ucapan: warham muhammadan wa ali Muhahammad kama rahimta ‘ala ibrahim, menambah basuhan keempat dalam wudhu` secara sengaja, dan mengusap leher dalam wudhu’.
- Bid’ah dalam sifat ibadah yang disyariatkan, seperti dzikir syar’i secara berjamaah dan dengan lagu, membebani diri dalam ibadah hingga keluar dari batasan sunnah, Berdzikir (misalnya tahlil atau istighfar) dengan keras dan jama’i saat mengiringi jenazah, membaca al-Quran dengan lagu sampai menyalahi tajwid dan mengaburkan makna.Imam Mengucapkan ta’awwudz dalam shalat dengan keras.
- Bid’ah dengan mengkhususkan waktu ibadah yang tidak dikhususkan oleh Syara’ seperti mengkhususkan nishfu sya’ban dengan puasa dan qiyamullail, meskipun puasa dan qiyamullail itu hukum asalnya disyariatkan, akan tetapi pengkhususannya pada malam itu perlu dalil.
Dengan demikian bid’ah tercela itu adalah: (1) hal baru (2) dalam agama (aqidah maupun ibadah) (3) yang menyalahi sunnah; sunnah Nabi dan Sunnah sahabat.
Keenam : soal pertama dari saudaraku yang “bau kencur” (andaikan saja saya tahu namanya sehingga saya bisa memanggil dan mendoakannya): “Bagaimana dengan redaksi shalawat yang disusun oleh Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i dan lain-lain, yang jelas-jelas tidak ada contohnya dalam hadits Rasulullah saw. Beranikah Anda mengatakan bahwa dengan sholawat yang mereka susun, berarti Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i itu termasuk ahli bid’ah?
Jawab:
- Yang saya katakan adalah “seperti membaca sholawat yang disusun oleh kalangan ulama shufi.” Sementara ibnu Mas’ud, Imam Syafi’i bukan ulama sufi, tetapi ulama ahlussunnah, jadi masalahnya jelas berbeda.
- Shalawat sufi banyak yang bermasalah dari sisi kandungan dan keyakinan tentangnya, seperti shalawat Wahidiyyah, dan shalawat Tijaniyyah, shalawat Mirghaniyyah Khatmiyyah. Juga shalawat-shalawat yang lain seperti yang ada dalam kitab Al-Wasîlatu `l-Hariyyah Fî `s-Shalawâti ‘Âlâ Khairi `l-Bariyyah tulisan Syaîkh Ahmad Qusyairi ibn Shiddîq (Pasuruan Jatim, wafat 22 Syawal 1392 H) yang berisikan 80 Shalawat.
- Pada shalawat nomor 5 ia berkata: “Ini Shalawat Imâm Al-Ghazali dan Al-Ghauts Al-Jilanî. An-Nabhani menukil dari As-Sya’rani dari As-Syauni melalui mimpi bahwa membaca shalawat ini sekali sama dengan 10 ribu (shalawat biasa).
- Pada shalawat nomor 18 dia berkomentar: Syaîkh Al-Dirabiy dan lainnya menyebutkan bahwa Syaîkh ‘Abdu `l-Qâdir Al-Jilanî mendapatkannya tertulis pada batu dan bahwasanya ia sama dengan 50 ribu shalawat, dan dia bermimpi bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya bahwa shalawat itu sama dengan 70 ribu shalawat.
- Pada shalawat nomor 29 dia berkomentar: Dalam Kunuzu `l-Asrâr disebutkan, barangsiapa menyebutnya seribu kali (1000 x) maka Allâh melapangkan kesulitannya dan meluluskan hajatnya apapun hajat itu. Begitu pula orang yang menyebut nama Allâh As-Sarî’ (Yang Maha Cepat) seribu kali (1000 x) dengan mengatakan, “Yâ Sarî”.
- Pada shalawat nomor 30 dia berkata: shalawat yang diajarkan langsung (musyafahatan) oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat) kepada Sayyid ‘Abdullâh Al-’Ilmi. Ini telah diuji coba (mujarab) untuk setiap hajat.
- Pada shalawat nomor 39 dia berkomentar: Ini Shalawat Al-Fâtih milik Al-Ârif Al-Kabîr Sayyidi Muhammad Al-Bakri. As-Shawi dan lainnya mengutip dari pengarangnya bahwa barangsiapa bershalawat dengan shalawat ini sekali seumur hidup, maka tidak akan masuk neraka. Abû `l-’Abbâs At-Tîjânî telah berkata sebagaimana dalam Jawâhiru `l-Ma’ânî bahwa shalawat ini turun kepada Muhammad Al-Bakri dalam satu shahîfah (lembaran) dari Allâh. Sebagian berkata: membacanya sekali sama dengan 10.000 shalawat biasa. Ada yang mengatakan 600.000. Barangsiapa merutinkan selama 40 hari maka diampuni dari semua dosa. Membacanya seribu kali dalam malam Kamis atau Jum’at atau Senin maka akan berkumpul dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
- Pada shalawat ke 41 dia berkomentar: Shalawat milik Sayyidi Syaîkh Mushthafa Al-Bakri, dikutip dari Lauhu `l- mahfûzh. Membaca sekali sama dengan 70.000 Dalâ`il (Khairaat).
- Pada shalawat nomor 70 yang di dalamnya terdapat kata-kata: “Ya Allâh bershalawatlah kepada sayyid kami Muhammad hingga tidak tersisa sedikitpun dari shalawat-Mu!!” Dia berkata; “Dibaca tiap hari, minimal 4 kali untuk menghilangkan kesusahan dan menolak balak. Bahkan ia mujarab (telah diuji coba) untuk segala sesuatu dengan izin Dzat Yang Maha Kuasa.
- Pada shalawat nomor 72 dia berkata: Shalawat disebutkan oleh Syaîkh Muhammad Shâlih Ar-Rais dalam Fatwanya, dia menyebutkan sebuah hadîts dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu bahwa barangsiapa membacanya pagi sore maka ia telah melelahkan 70 malaikat pencatat (pahala) selama seribu pagi (seribu hari), dan tidak tersisa sedikit pun dari hak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan ia telah tunaikan, dan diampuni untuknya dan kedua orang tuanya dan dikumpulkan bersama keluarga Muhammad…”[1]
- Selain itu shalawat bid’ah banyak didapati di kitab Dalail al-Khairat wa Syawariq al-Anwar Fi Dzikr al-Shalati ‘ala an-nabiyyil Mukhtar, karya syaikh sufi Abu Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazuli as-Syamlani (w. 870 H). Jami’ al-Shalawat wa Majma’ as-Sa’adat fi as-shalat ‘ala Sayyidil Sadat, karya Syaikh Sufi yang kesohor Yusuf ibn Ismail al-Nabhani (w. 1350 H),
Subhanallah! Anda bisa bayangkan betapa pengaruh teori kasyaf dan mimpi ini begitu kuat menancap dalam hati banyak kaum muslimin sehingga banyak menimbulkan keyakinan-keyakinan baru yang tidak dikenal sebelumnya, dengan alasan bahwa ajaran atau keyakinan itu ia dapat langsung dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala atau langsung diajari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bisa kita bayangkan seandainya setiap orang mengaku diajari langsung oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau mendapat ilham tentang satu amalan. Sangat mungkin atas dasar teori ini pula, begitu banyak sekte dan ajaran menyimpang di masa kita sekarang ini, yang mematikan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.Nah, shalawat-shalawat inilah yang saya maksudkan bukan shalawat ibnu Mas’ud, dan Imam Syafi’i, dll.
- Shalawat itu ibadah yang bersifat doa, boleh dengan redaksi sendiri untuk hajatnya, asal memenuhi dua syarat, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Ikhlas dalam bershalawat berarti :
- Hanya mengharapkan ridha Allah Ta’ala dan pahala dari-Nya.
- Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip ikhlas maupun syariat. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan syirik dan kekufuran, semisal istighatsah kepada selain Allah Ta’ala, menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allah kepada selain-Nya dan yang semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk manusia yang tidak ma’shum, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lebih-lebih shalawat shufiyyah.
Meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bershalawat, maksudnya :
- Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang paling utama.
- Bila menggunakan susunan shalawat dari selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disyaratkan tidak mengandung unsur kesyirikan maupun ghuluw (sanjungan yang berlebihan) kepada beliau.
- Bershalawat pada momen-momen yang beliau syariatkan, dan dengan bilangan yang sudah beliau tentukan. [5]
- Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala dalam QS.al-Ahzab/33:56 dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas.
- Shalawat yang digubah oleh sahabat Ibn Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ بَيَانٍ حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي فَاخِتَةَ عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَإِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَحْسِنُوا الصَّلَاةَ عَلَيْهِ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ لَعَلَّ ذَلِكَ يُعْرَضُ عَلَيْهِ قَالَ فَقَالُوا لَهُ فَعَلِّمْنَا، قَالَ: قُولُوا اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِينَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّينَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُولِ الرَّحْمَةِ اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا يَغْبِطُهُ بِهِ الْأَوَّلُونَ وَالْآخِرُونَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Abdullah bin Mas’ud berkata: Apabila kamu semua bersolawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka baguskanlah shalawat kepadanya, karena kamu tidak tahu, mungkin saja shalawat kamu itu diberitahukan (disampaikan) kepada beliau. Lalu mereka bertanya: kalau begitu ajarkanlah kami (cara bersolawat yang bagus kepada beliau)! Lalu beliau (Abdullah bin Mas’ud) menjawab: katakan, Ya Allah jadikanlah segala solawat-Mu, rahmat-Mu, dan berkah-Mu, kepada Sayyid para rasul, pemimpin orang-orang yang bertakwa, penutup para nabi, yaitu Muhammad Hamba dan Rasul-MU, pemimpin kebaikan, dan pengarah kebaikan dan rasul yang membawa rahmat. Ya Allah anugerahilah beliau maqam terpuji yang akan diiri oleh orang-orang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian.
Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberikan shalwat pada Ibrahim, dan keluarga Ibrahum sesungguhnya Engkau maha terpuji dan Agung. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Agung.”
(HR. Ibn Majah no 906, dhaif. Didhaifkan oleh Al-Albani dalam takhrij kitab Fadhlusshalah ‘alan Nabi milik Ismail al-Qadli no. 61; oleh Husain Salim Asad dalam Musnad Abu Ya’la 9/175; Al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid dan al-Bushiri dalam Mishbah al-Zujajah mengatakan: “para perawinya tsiqat kecuali al-Mas’udi, diakhir usianya pikiranya berubah kacau, tidak membedakan haditsnya yang pertama dari yang akhir, maka layak ditinggalkan. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hibban.” Ia memiliki syahid (saksi) hadits lain riwayat dari Ibn Umar dalam Musnad Ahmad ibn Manii’, sehingga ada yang menghasankan)
- Shalawat dan dzikir dari sahabat bisa diamalkan Anda masih ingat kaedah yang dibuat oleh Imam Syafi’i rahimahullah:
مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أو أثراً أَوْ إِجْمَاعًا فهذه بِدْعَةُ ضَّلالَةِ
“Apa saja yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau atsar atau Ijma’, maka ini adalah bid’ah dhalalah (tersesat).”
Oleh karena itu atsar dari sahabat termasuk sunnah, bukan bid’ah. Dalam hal ini ahlussunnah memiliki kaedah:
Syaikh Zakariya ibn Ghulam al-Bakistani dalam kitab Ahkam al-Adzkar halaman 16, kaedah ke 14, mengatakan:
“Dzikir yang terikat dengan waktu dan tempat yang datang dari sahabat bisa diamalkan. Dzikir-dzikir yang datang dari setelah mereka yaitu tabi’in dan atba’ tabi’in maka tidak diamalkan. Karena para ulama menyebutkan bahwa apa yang datang dari para sahabat dari hal yang tidak ada ruang bagi pendapat dan ijtihad di dalamnya maka hukumnya adalah marfu’. Dzikir adalah termasuk ibadah yang tidak ada ruang bagi pendapat, sehingga apa yang datang dari sahabat dari dzikir hukumnya dianggap marfu’ (termasuk ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) dan menjadi hujjah. Adapun yang datang dari para tabi’in maka tidak dihukumi marfu’ tetapi ijtihad dari yang mengucapkannya dan tidak disyariatkan mengamalkannya, karena ia bukan hujjah.”
- Shalawat Imam Syafi’iImam Syafi’I berijtihad. Menulis shalawat di mukaddimah kitabnya ar-Risalah, (1/16)
فصلى الله على نبينا كلما ذكره الذاكرون وغفل عن ذكره الغافلون وصلى عليه في الاولين والآخرين أفضل وأكثر وأزكى ما صلى على أحد من خلقه وزكانا وإياكم بالصلاة عليه أفضل ما زكى أحد من أمته بصلاته عليه والسلام عليه ورحمة الله وبركاته وجزاه الله عنا أفضل ما جزى مرسلا عن من أخرجت للناس دائنين بدينه الذي ارتضى واصطفى به ملائكته ومن أنعم عليه من خلقه فلم تمس بنا نعمة ظهرت ولا بطنت نلنا بها حظا في دين أو دفع بها عنا مكروه فيهما وفي واحد منهما إلا ومحمد صلى الله عليه سببها القائد إلى خيرها والهادي إلى رشدها الذائد عن الهلكة وموارد السوء في خلاف الرشد المنبه للاسباب التي تورد الهلكة القائم بالنصيحة في الارشاد والانذار فيها فصلى الله على محمد وعلى آل محمد كما صلى على إبراهيم وآل إبراهيم إنه حميد مجيد
Apa yang dilakukan oleh Imam syafi’i sah dalam agama Islam, tidak ada larangan sama sekali. Siapa pun dari kita boleh menulis di mukaddimah khutbah atau kitab tahmid dan shalawat dari rangkaian sendiri asal isinya tidak bertentangan dengan syara’.
- Kaitan mujtahid dengan bid’ahOrang yang betul-betul mujtahid tidak akan melakukan atau mengatakan sesuatu yang bid’ah kecuali hanya faltah (ketergelinciran yang tidak disengaja), kita sebut demikian karena mujtahid tidak bermaksud mengikuti mutasyabihat untuk mencari fitnah dan mencari takwil kitab, artinya tidak mengikuti hawa nafsunya, dan tidak menjadikannya sebagai tumpuan. Buktinya, jika kebenaran tampak nyata baginya maka ia tunduk dan mengakuinya. Oleh karena itu seandainya shalawat yang ditulis oleh Imam Syafi’i itu –misalnya- termasuk bid’ah maka kita tetap tidak menyebut beliau sebagai ahli bid’ah, apalagi telah terbukti bahwa hal itu boleh-boleh saja dalam syariat ini. (Baca macam-macam orang yang dikaitkan dengan bid’ah dalam al-I’tisham).
- Shalawat (atau syari’at secara umum) tidak diambil dari mimpiSepakat ahlussunnah bahwa mimpi bukan sumber syariat, dan bahwa mengambil syariat dari mimpi termasuk manhaj bid’ah, khususnya shufiyyah quburiyyah. Contoh, disebutkan bahwa Abul Mawahib al-Syadzili berkata: Saya bermimpi melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu beliau berkata kepada saya: jika kamu punya hajat dan kamu ingin memenuhinya maka bernadzarlah untuk Nafisah al-Thahirah[2], meskipun hanya satu fils, sesungguhnya hajatmu pasti terkabul.” (Thabaqat al-Sya’rani, 2/74)Coba perhatikan mimpi syaithani ini mengajak orang untuk berbuat syirik, merusak tauhid yang diperjuangkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selama 23 tahun dalam masa kenabiannya.Kembali kepada masalah shalawat. Diceritakan dalam kitab Jala’ al-Afham page 230, dan al-Hafiz al-Sakhawi dalam kitabnya al-Qaul al-Badi’ page 254:
وقال عبد الله بن عبد الحكم: “رأيت الشافعي في النوم، فقلت. ما فعل الله بك؟ قال: رحمني وغفر لي وزفني إلى الجنة كما تزف العروس, ونثر علي كما ينثر على العروس، فقلت: بم بلغت هذه الحال؟ فقال لي قائل: يقول لك بما في كتاب الرسالة من الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم”. قلت: فكيف ذلك؟ قال: وصلى الله على محمد عدد ما ذكره الذاكرون، وعدد ما غفل عن ذكره الغافلون. قال: فلما أصبحت نظرت في الرسالة فوجدت الأمر كما رأيت: النبي صلى الله عليه وسلم”
Abdullah bin al-Hakam berkata: Aku bermimpi bertemu al-Imam al-Syafi’i setelah beliau meninggal. Aku bertanya: Apa yang Allah lakukan padamu? Beliau menjawab: Allah mengasihiku dan mengampuniku – sampai dengan- Lalu aku (Imam Syafi’i) bertanya kepada Allah: dengan apa aku memperoleh derajat ini? Lalu ada orang yang menjawab: dengan solawat yang kau tulis di dalam kitab al-Risalah:
صلى الله على محمد عدد ما ذكره الذاكرون وعدد ما غفل عن ذكره الغافلون .
Abdullah bin al-Hakam berkata: Pagi harinya aku tengok kitab al-Risalah, ternyata solawat di dalamnya sama dengan yang aku tenggok di dalam mimpiku.
Lafazh selawat Imam al-Syafi’i yang masyhur adalah seperti berikut;
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد كلما ذكره الذاكرون وغفل عن ذكره الغافلون
Disebutkan lafazh ini diambil daripada kitab beliau al-Risalah. Namun lafazh selawat Imam al-Syafi’i yang asal yang terdapat di dalam kitab al-Risalah (hlm. 16) tersebut agak berbeda sedikit dengan tambahan yang agak panjang yaitu sebagaimana yang sudah kami sebut di atas.
Menurut mimpi tersebut, seolah-olah shalawat imam Syafi’i ini berfadhilah, namun demikian sepakat ahlussunnah bahwa yang terbaik adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu seandainya ada orang nadzar untuk bershalawat maka cara memenuhinya adalah dengan membaca shalawat ibrahimiyyah ajaran nabi, bukan shalawat buatan imam asyafi’i, karena ialah shalawat yang paling afdhal sebagaimana yang ada dalam kitab Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdatul Muftin 4/102, al-Majmu’ 3/464; Asnal Mathalib 22/18) [*]
ولكن الأمر الهام الذي يجب أن يعلم أن العلماء قد قرروا أنه لا يؤخذ أي حكم شرعي من رؤية النبي صلى الله عليه وسلم في المنامات لأن الشريعة الإسلامية قد تمت وكملت قبل وفاة سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم قال الله تعالى {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا} سورة المائدة الآية 3.كما أن مصادر التشريع معلومة ومعروفة وقد بينها الأصوليون وهي الكتاب والسنة والإجماع والقياس والمصادر التبعية على خلاف بينهم فيها وليس منها الرؤى ولا المنامات ولا يحتج بالرؤى في باب الأحكام الشرعية إلا من ضعف عقله وزاغ عن طريق الحق والصواب .فليست الرؤى والمنامات من مصادر التشريع وهذا هو الحق والصواب وماذا بعد الحق إلا الضلال ؟ وأكثر ما يؤخذ من الرؤى أن تكون بشارة أو نذارة لا أن تكون مصدراً للتشريع
قال الإمام النووي عند كلامه على رؤى الرواة [ قال القاضي عياض رحمه الله: هذا ومثله استئناس واستظهار على ما تقرر من ضعف أبان لا أنه يقطع بأمر المنام ولا أنه تبطل بسببه سنة ثبتت ولا تثبت به سنة لم تثبت وهذا بإجماع العلماء , هذا كلام القاضي
وقال الإمام النووي أيضاً: [ لو كانت ليلة الثلاثين من شعبان, ولم ير الناس الهلال, فرأى إنسان النبي صلى الله عليه وسلم في المنام، فقال له: الليلة أول رمضان لم يصح الصوم بهذا المنام، لا لصاحب المنام ولا لغيره ] المجموع6/292
وقال الإمام النووي أيضاً عند كلامه على خصائص النبي صلى الله عليه وسلم :[ ومنه أن من رآه في المنام فقد رآه حقاً فإن الشيطان لا يتمثل في صورته ولكن لا يعمل بما يسمعه الرائي منه في المنام مما يتعلق بالأحكام إن خالف ما استقر في الشرع لعدم ضبط الرائي لا للشك في الرؤيا لأن الخبر لا يقبل إلا من ضابط مكلف والنائم بخلافه ] تهذيب الأسماء واللغات1/43
وقال الشاطبي:[ وأما الرؤيا التي يخبر فيها رسول الله صلى الله عليه وسلم الرائي بالحكم فلا بد من النظر فيها أيضاً لأنه إذا أخبر بحكم موافق لشريعته فالحكم بما استقر وإن أخبر بمخالف فمحال لأنه صلى الله عليه وسلم لا ينسخ بعد موته شريعته المستقرة في حياته لأن الدين لا يتوقف استقراره بعد موته على حصول المرائي النومية لأن ذلك باطل بالإجماع فمن رأى شيئاً من ذلك فلا عمل عليه وعند ذلك نقول عن رؤياه غير صحيحة إذ لو رآه حقاً لم يخبر بما يخالف الشرع ] الاعتصام 1/321. وانظر أيضاً الموافقات للشاطبي1/114-115.
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية[ الرؤيا المحضة التي لا دليل على صحتها لا يجوز أن يثبت بها شيء بالاتفاق ] مجموع الفتاوى 27/457
وقال ابن حزم الظاهري[ الشرائع لا تُؤْخَذ بالمنامات ] المحلى 6 / 507
.وقال الشوكاني:[ المسألة السابعة: في رؤيا النبي صلى الله عليه وسلم ذكر جماعة من أهل العلم منهم الأستاذ أبو إسحاق أن يكون حجة ويلزم العمل به وقيل حجة ولا يثبت به حكم شرعي وإن كانت رؤية النبي صلى الله عليه وسلم رؤية حق والشيطان لا يتمثل به لكن النائم ليس من أهل التحمل للرواية لعدم حفظه وقيل إنه يعمل به ما لم يخالف شرعاً ثابتاً ، ولا يخفاك أن الشرع الذي شرعه الله لنا على لسان نبينا صلى الله عليه وسلم قد كمله الله عز وجل وقال {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ }ولم يأتنا دليل يدل على أن رؤيته في النوم بعد موته صلى الله عليه وسلم إذ قال فيها بقول أو فعل فيها فعلاً يكون دليلاً وحجة بل قبضه الله إليه عند أن كمَّل لهذه الأمة ما شرعه لها على لسانه ولم يبق بعد ذلك حاجة للأمة في أمر دينها وقد انقطعت البعثة لتبليغ الشرائع وتبينها بالموت وإن كان رسولاً حياً وميتاً وبهذا تعلم أن لو قدَّرنا ضبط النائم لم يكن ما رآه من قوله صلى الله عليه وسلم أو فعله حجة عليه ولا على غيره من الأمة ] إرشاد الفحول إلى تحقيق الحق من علم الأصول ص249.
وقال الشيخ العلامة عبد العزيز بن باز :[ ، ولا يجوز أن يعتمد عليها في شيء يخالف ما علم من الشرع ، بل يجب عرض ما سمعه الرائي من النبي من أوامر أو نواهي أو خبر أو غير ذلك من الأمور التي يسمعها أو يراها الرائي للرسول صلى الله عليه وسلم على الكتاب والسنة الصحيحة ، فما وافقهما أو أحدهما قبل ، وما خالفهما أو أحدهما ترك؛ لأن الله سبحانه قد أكمل لهذه الأمة دينها وأتم عليها النعمة قبل وفاة النبي صلى الله عليه وسلم فلا يجوز أن يقبل من أحد من الناس ما يخالف ما علم من شرع الله ودينه سواء كان ذلك من طريق الرؤيا أو غيرها وهذا محل إجماع بين أهل العلم المعتد بهم ، أما من رآه عليه الصلاة والسلام على غير صورته فإن رؤياه تكون كاذبة كأن يراه أمرد لا لحية له ، أو يراه أسود اللون أو ما أشبه ذلك من الصفات المخالفة لصفته عليه الصلاة والسلام ، لأنه قال عليه الصلاة والسلام : " فإن الشيطان لا يتمثل في صورتي " فدل ذلك على أن الشيطان قد يتمثل في غير صورته عليه الصلاة والسلام ويدعي أنه الرسول صلى الله عليه وسلم من أجل إضلال الناس والتلبيس عليهم . ثم ليس كل من ادعى رؤيته صلى الله عليه وسلم يكون صادقا وإنما تقبل دعوى ذلك من الثقات المعروفين بالصدق والاستقامة على شريعة الله سبحانه ، وقد رآه في حياته صلى الله عليه وسلم أقوام كثيرون فلم يسلموا ولم ينتفعوا برؤيته كأبي جهل وأبي لهب وعبد الله بن أبي بن سلول رأس المنافقين وغيرهم ، فرؤيته في النوم عليه الصلاة والسلام من باب أولى ] ونقل صاحب تهذيب الفروق والقواعد السنية عن العلامة العطار قوله: ولا يلزم من صحة الرؤيا التعويل عليها في حكم شرعي لاحتمال الخطأ في التحمل وعدم ضبط الرائي ] تهذيب الفروق والقواعد السنية 4/270.
وقد وجدت كلاماً للإمام القرافي في مسألة قريبة من مسألة الطلاق الزوجة بناءً على الرؤية حيث قال:[فلو رآه عليه الصلاة والسلام فقال له : إن امرأتك طالق ثلاثاً , وهو يجزم بأنه لم يطلقها فهل تحرم عليه ; لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يقول إلا حقاً وقع فيه البحث مع الفقهاء واضطربت آراؤهم في ذلك بالتحريم وعدمه لتعارض خبره عليه الصلاة والسلام عن تحريمها في النوم وإخباره في اليقظة في شريعته المعظمة أنها مباحة له ,
والذي يظهر لي أن إخباره عليه الصلاة والسلام في اليقظة مقدم على الخبر في النوم لتطرق الاحتمال للرائي بالغلط في ضبط المثال , فإذا عرضنا على أنفسنا احتمال طروء الطلاق مع الجهل به واحتمال طروء الغلط في المثال في النوم وجدنا الغلط في المثال أيسر وأرجح , ومن هو من الناس يضبط المثال على النحو المتقدم إلا أفراد قليلة من الحفاظ لصفته عليه الصلاة والسلام وأما ضبط عدم الطلاق فلا يختل إلا على النادر من الناس والعمل بالراجح متعين , وكذلك لو قال له عن حلال : إنه حرام , أو عن حرام إنه حلال , أو عن حكم من أحكام الشريعة قدمنا ما ثبت في اليقظة على ما رأى في النوم لما ذكرناه كما لو تعارض خبران من أخبار اليقظة صحيحان فإنا نقدم الأرجح بالسند أو باللفظ أو بفصاحته أو قلة الاحتمال في المجاز أو غيره فكذلك خبر اليقظة وخبر النوم يخرجان على هذه القاعدة ] الفروق 4/245-246.
وأخيراً أذكر ما قاله الشاطبي:[ وعلى الجملة فلا يستدل بالرؤيا في الأحكام إلا ضعيف المنّة نعم يأتي المرئي تأنيساً وبشارة ونذارة خاصة بحيث لا يقطعون بمقتضاها حكماً ولا يبنون عليها أصلاً وهو الاعتدال في أخذها حسبما فهم من الشرع فيها ] الاعتصام 1/322.
وبعد هذه النقول عن فحول أهل العلم أقول لا شك أنه لا يصح في دين الإسلام الاعتماد على الرؤى والأحلام في إثبات الأحكام ولا يجوز للمرء أن يطلق زوجته بناءً على تلك المنامات .
Bersambung ke bag-3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar